ASA

just scribble, words, and myself. never mind, it's safe :)

Kata saya

~disinilah kata, rasa, dan saya berada. bersama, menjadi sebuah.. karya ~

Sabtu, 27 Juli 2013

Rangkaian Kata-Kata


Tes Uji Coba

lagi-lagi
detik mengulang
aku terpekur
ia melenguh, hela napasnya kian panjang
yang lain… memandang bisu di depannya
tulisan.
berderet-deret dalam lembaran-lembaran
tak berdosa
ia diam
kami bungkam
dan perlahan nyala mata pun meredup
tenggelam dalam kebosanan
dan detik-detik menyisakan titik-titik
semangat yang reda
detik mengulang
kebosanan.

Ruang kelas, 28 Februari 2013


Sebingkis Pengertian

Aku menatap mata Sonia yang basah. Sesekali ia menahan napas, mencoba berhenti dari sesenggukannya. Aku masih membisu. Mencoba memberinya kesempatan untuk berdamai dengan hatinya yang sedang rusuh. Hela napas panjangku terdengar berat, bukan apa-apa. Aku hanya berusaha memberinya waktu, setidaknya untuk diam dan mendengarkan kata-kataku. 
“Sonia sayang, maukah engkau kuceritakan suatu kisah?”
Ia mengangguk pelan. Mendekatkan dirinya di tempat tidurku, dan berbaring di pangkuanku. Aku membelai rambutnya yang hitam mengkilap.
“Berpuluh-puluh tahun lalu, ada seorang gadis yang mandiri dan ambisius sepertimu Sonia. Ia adalah pekerja keras yang cerdas, baik, dan mengagumkan. Begitu kata orang-orang di sekitarnya. Namun di balik tanggapan orang tentang dirinya, sejujurnya dia adalah gadis yang pemalu, dan terlalu perasa. Lebih tepatnya, dia selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Kadang dia minder dan menjadi seorang peragu. Tapi satu hal yang selalu dia perjuangkan; kebahagiaan orang-orang yang dicintainya.”
Sonia berbaring sambil mempermainkan ujung rambutnya, takzim mendengarkan.
“Saat menginjak masa perkuliahan, sifatnya yang pemalu dan minder itu membuatnya selalu jauh dari dunia merah jambu, kisah-kisah percintaan, Sonia. Namun ia tak terlalu ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah kuliahnya yang mesti segera tuntas dan cita-citanya segera terwujud, karena dengan itulah ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya.”
“Hidup berjalan biasa saja, sampai akhirnya sesuatu terjadi dan mengubah hidupnya..”
Sonia hanya diam, tapi ia mulai mendongakkan wajahnya dan memandangku.
“Saat itu, ia tengah keluar dari ruangan penguji seusai ujian skripsi dan kegirangan karena ia berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan, ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi S2-nya dengan biaya pemerintah melalui seleksi nasional. Ia segera menuju ruang rektorat untuk mengklarifikasi tawaran tersebut. Tanpa dinyana, ia bertemu dengan seorang staf kementrian yang saat itu sedang berkunjung ke kampusnya. Seorang pria muda yang wajahnya familiar. Spontan, gadis itu menyapa. Dan ternyata benar! Pria itu mengenalnya. Ternyata mereka berasal dari SMA yang sama. Dan pertemuan itu pun berlanjut..”
Sonia menatapku penuh tanya. Aku melanjutkan ceritaku.
“komunikasi mereka berlanjut, Sonia. Meski gadis itu pemalu, ia tergolong ramah. Maka dari itu ia berani menyapa si pria staf menteri. Apalagi ternyata, pria itu satu almamater dengannya. Maka dimulailah kisah cinta mereka.”
“Akhirnya mereka sepakat menjalin hubungan. Hubungan jarak jauh memang. Namun itulah tantangannya Sonia. Kesetiaan, kepercayaan, dan komitmen mereka diuji. Sebulan sekali memang pria itu mengunjunginya. Namun tak pernah lebih dari satu hari. Ia hanya menjenguk kedua orang tuanya, dan menyambangi gadisnya. Si pria dan gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu mereka melalui skype. Itupun dengan saling berbagi nasihat, saran, dan ilmu-ilmu tentang kehidupan. Tak sekadar pacaran ala anak muda sekarang, mereka menjalin hubungan secara terhormat. Ya, tentunya kau pun tahu Sonia, ada wibawa dan jabatan yang harus mereka jaga. Selain itu, si gadis memang tipikal perempuan serius, sama sepertimu. Ia tak mudah menjalin hubungan yang tak diketahui arah tujuannya.”
Sonia semakin penasaran.
“Setelah berhasil lulus dengan memuaskan, tibalah giliran gadis itu diwisuda. Tak sekedar wisuda, ia meraih gelar cumlaude dari kampus tempatnya menimba ilmu. Dan serta merta ia diangkat menjadi asisten dosen di kampusnya. Lengkap sudah kebahagiaannya. Kedua orang tua dan adiknya bangga sekaligus terharu mengingat semua usaha dan perjuangannya.”
Sonia mulai bosan.
“Kau mulai bosan, Sonia? Padahal kisah istimewanya baru akan dimulai..”
“Satu minggu setelah gadis itu wisuda, si pria menelpon bahwa ia akan melamar gadis itu. Secepatnya. Laki-laki itu memastikan ia akan datang awal bulan depan, Sonia.”
Sonia kembali tertarik. Sejenak ia ragu. Namun akhirnya ia berkata padaku,
“aku lelah Uma, bingung. Bagaimana kalau kita namai saja gadis itu dan prianya?” ini kali pertama Sonia berbicara setelah tangisnya.
“Baik sayangku. Siapa namanya?” tanyaku
“terserah Uma saja..”
“Oke. Aku namai gadis itu Ratna dan lelakinya Galih.” Kataku kemudian.
“Ah, Uma.. Seperti nama tokoh dalam film jaman baheula saja..” kata Sonia sambil tersenyum. Sonia tersenyum! Ini membuatku sedikit lega. Semoga ia segera lupa dengan rusuh hatinya.
***
Sore itu, rintik gerimis membasahi jalanan di bawah sinaran matahari. Ya, senja tengah menjadi-jadi menyiratkan kemilau kuning dan semburat jingga di awan. Jarang sekali peristiwa seperti ini terjadi. Ratna baru saja menutup telepon genggamnya dengan gemetar. Benarkah yang ia dengar barusan? Mas Galih menelponku dan mengatakan bahwa ia akan segera melamarku?

Ratna masih tidak percaya. Ada keraguan di sorot matanya. Namun demi melihat ayahnya menghampirinya dan menuntunnya ke saung keluarga, ia segera menghapus jejak kegamangan hatinya. Apalagi ibunya segera menyusul kedua bapak anak itu.

(bersambung...)

Seracau Kesahan

janji,
rindu ini terenggut oleh puing-puing
ingkar. dan rusuh dalam rumit enggan takbertepi, mematut diri di depan cermin
waktu.
membiarkan nada-nada mengalun sesukanya
dan diri ini terbawa arus
keputusasaan tak bertuan; mengikat rasa logika
Tuhan sedang jauh di ujung sana
lalu,
bagaimana aku bias mendapati diriku yang dulu?

Hari ke-27. Sisa-sisa bulan Juni

Saat gerimis di terik matari

Memori tentang Juli

Tak ada yang ingat tentang kisah ini, meski pernah dituliskan dalam majalah Gamma --majalah sekolah kami-- beberapa waktu yang lalu. yah, karena semua memandangnya sebagai sebuah kisah mainstream sebagai pengisi kolom english corner dalam bahasa inggris khas anak SMA dengan grammar yang cukup amburadul --salah satu kelemahan saya dalam mapel bahasa inggris, namun sempat menjadi andalan karena nilai UN tertinggi saya adalah mapel bahasa inggris juga-- hehehehe :D
oke, well.. saya tidak ingin terlalu banyak mengingat tentang kisahnya, hanya ingin membagikan sedikit pesan moral atas kisah yang saya tulis dan hidup saya kemudian.. selamat menikmati.

Time to Say Goodbye

The story began right here, when the earthquake and Apopipo’s eruption did not leave anything except hurts. The current of lava came down in the night and nobody could safe. People became victims that could not count anymore. That was a national disaster. A journalist appointed by government to cover the days, and gave news to government what the people needed. The House also asked her to help the victims as much as she able and she got her partner to do her assignment. By working together with National Red Cross and their volunteers the journalist who named Jacqueline always came to help people in that remote area. No one knew she was a journalist. People though she was a nurse. She was a kind, friendly, and caressing woman. She always reminded people to keep their health. She also motivated to fight in this difficult condition. From her eyes everyone knew she had great sincerity and loyalty.

Jacqueline met her partner intuitively, when she would close the Evacuation’s camp. Someone cantered to go up close her. “Please, help! A man in my camp got asthmatic. Our medicine all gone.” Jacqueline searched the medicine quickly. After she found it, she gave it to the man. “Thank you.” The man said. “Welcome.” Jacqueline answered. From the unexpected meeting, they became close, and closer. They always spent the time together. The helped people there, played with children, and oftentimes the volunteer accompanied Jacqueline to make news. In a spare time, sometimes they walked around in the river and the ex rice field. It because now that all covered by lava. The man who named Henrico turned out to be Jacqueline’s friend when she was a student.

One night, Jacqueline was writing her paper in the terrain near camp when Henrico came. He brought a firefly and showed it up to Jacqueline. “Before the lava’s came, this place looked so beautiful in the night covered by fireflies.” Henrico whispered. Jacqueline glanced at him, “Really? I hope I can see this someday.” The firefly flight away. “Maybe someday you will.” Henrico answered then. Jacqueline kept silent for a while. “I hope someday I will, but with you.” Henrico gaped with Jacqueline words, but he took mind off that, and looked Jacqueline, “Why you don’t wearing a jacket? The night cold enough, Jacqueline.” Jacqueline just smiled. She nodded and smiled. Unpredictable, Henrico took his jacket down, and gave it to Jacqueline. “It is yours.” Jacqueline startled. “No. Thanks. I can survive with this weather, Buddy.” But Henrico refused and said, “You must wear jacket and I don’t want to hear anything words or reasons from you.” He said and stretched the jacket out. Again, Jacqueline just smiled in silent. She took the jacket and said, “Thank you”. Then they passed the night by chatting and sharing each other.

One day, when the weather was so hot, Jacqueline found a memo from Henrico on the Elena’s notes, Jacqueline’s friend, who also got a job there. Elena was a journalist too, but she just worked there for several days. Jacqueline read this memo, and shocked when she knew that:

Don’t work too hard, girl. Take a rest, please Ellie. Good Luck, GBU.”

That was so hurt, and painful, but Jacqueline did not cry. She called Henrico to ask about it, but Henrico said nothing. Then Jacqueline just smiled and closed the memo, she brought it back to Elena’s notes. A couple of days and nights, she chose to finish her duty. She called her Chief Editorial Staff and reported that she has been finished. Jacqueline realized that she hope too high, and she felt that was time to finished all. The next day, which was Valentine’s Day, Jacqueline was standing outside his camp, called Henrico and left the box there. She was gone while Henrico opened his Camp, and took the box ploddingly. He found a letter and pratfall when he read it.  

Dear Henrico, Happy Valentine 
My Buddy Henrico Burn, by this letter I would tell you that there’s no reason for me to stay here. You already had Elena who will accompany you through your day. She is a great journalist, an accomplished motivator, and a beautiful woman. She has everything. Henrico, as often I said to you that, I do many mistakes so, I hope you will apologize my all, wish we luck in everyday. Well, maybe after I am go there will come a new day for you and Elena. Maybe you will build many dreams with her. Maybe I will continue my long journey; till I know where I am suppose to be, but Let me tell you first, I did not want to regret because I don’t tell you. Did you know? There is someone who always loves you wholeheartedly. Waiting for you in the prayer; prayer in the lonely night. Accompany you through in tears, laughter, sorrow, and happiness. She loved you in a quiet and silent; in a piece of memory when both of you were SHS. And from the first to the last, the girl is me. I love you, Henrico.
But now, I realize that it’s time to go, I should go to let you happy right here. I always pray for your happiness. I loved you.
Yours,

Jacqueline

Henrico stared the letter out, and glanced at the sky. He took the chocolate inside the box, opened it, and saw the name written in the chocolate, Jacqueline -love- Henrico. He saw the clouds for a moment and let the land caught his teardrops. Something that he hadn’t seen, skies and winds noticed that in a smiling tears.

sebagai penulis amatir tentu saja kisah tersebut diilhami oleh sebuah pengalaman pribadi, namun yang ingin saya tekankan disini adalah bahwa sebenarnya kisah peristiwa yang saya alami ternyata justru benar-benar terjadi setelah tulisan saya dimuat di Majalah Gamma tersebut.
seakan kisah demi kisah yang terjadi pada hidup saya kemudian sama seperti yang saya tuliskan. yah, garis besarnya sih begitu. henrico kemudian jadian sama audrey terus persahabatan saya dan audrey jadi renggang, bla..bla.. bla.. hidup yang getir dan menyesakkan dada saya alami hampir 1 tahun lamanya.. [malah curhat]
well..
apa yang bisa kita simpulkan?

inilah.. sebuah puisi lama memberi jawaban, mari kita simak apa "katanya" ..
hati hati dengan apa yang kita pikirkan
   karena akan menjadi kata kata kita
      hati hati dengan kata kata kita
        karena akan menjadi tindakan kita
           hati hati dengan tindakan kita
              karena akan menjadi kebiasaan kita
                hati hati dengan kebiasaan kita
                  karena akan menjadi kepribadian kita
                      hati hati dengan kepribadian kita
                        karena akan menjadi karakter kita
                               hati hati dengan karakter kita
karena akan menjadi nasib kita
Purworejo, dalam pelukan malam satu Juli.


10:23 WIB

Minggu, 30 Juni 2013

Hujan Bulan Juni

Halo dunia.. hari ini aku kembali memposting ulang puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul “Hujan Bulan Juni”.. Entah, sudah berapa Juni aku mengagumi karyanya yang satu ini. dan kupastikan akan terus mengaguminya. Ada selaksa kisah terlukis senada dengan tiap bait kata-katanya. Maka, di penghabisan Juni tahun ini aku ingin menuliskannya.. di situsku..
Hujan Bulan Juni 
Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
bagaimana? Memesona bukan? Ada semacam haru yang mengalir membersamai desir darahku. Entahlah denganmu.. tapi yang jelas, ada makna yang tersirat jika kamu membacanya dengan hati. Apapun yang kau temukan. Bagaimanapun penafsiranmu. Percayalah ..~ sampai jumpa.
Salam,
dian.

Sabtu, 22 Juni 2013

Sekenang tentang K A M U ! :)

Sore ini aku tersentak dari tidurku, tatkala ibu membangunkanku dengan menyodorkan ponsel tepat di depan wajahku. Ada sms dari temanmu, penting. Begitu kata beliau.
            Dari: Ario
            Di. pasal 5 dan 20 isinya bagaimana?
Segera mungkin kubalas sms Ario. Ini penting. Pasti dia sedang tes, pikirku. Aku segera mencari UUD-ku di tumpukan buku-buku catatan. Aih, ketemu! Segera kucari pasal-pasal yang dimaksud dan kutuliskan singkat namun jelas. Pesan terkirim! Ah, lega rasanya. Kemudian kubaca ulang sms Ario, kulihat waktu pengirimannya. Astagfirullah, pukul 2 siang. Sementara baru kubuka sms itu pukul 4. Waduhh, jangan-jangan …
            Aku bangkit dari tempat tidur, keluar kamar dan mendekati Bapak yang sedang duduk bersantai. Kusapa beliau, lalu kutanyakan apakah nomornya memiliki gratisan telepon hari ini. (haha, mau telepon aja nyari yang gratisann, 2013.. jann!)
Bapak bilang punya, lalu segera kupinjam ponselnya untuk menelpon si Ario. Berkali-kali panggilanku masuk, namun tak diangkatnya. Lalu kucoba menelpon Fajri, kali ini tersambung dan diangkat. (wahaha, ini berbinar-binar nulisnya)
            Kami berbicara panjang lebar, dia bilang Ario sedang tertidur kedinginan, dan baru kutahu ternyata dia sedang berada di mess bersama Ario dan Kamu. Fajri, Ario, dan Kamu adalah tiga dari pejuang-pejuang yang masih bertahan seleksi alam mengejar impian. Berjibaku dalam usaha untuk dapat menjadi taruna di salah satu akademi yang mendidik calon pemimpin-pemimpin negeri ini. Fajri, Ario, dan Kamu.. teman-teman seperjuanganku :’)
            Aku menyudahi perbincanganku dengan Fajri, dan tak lama kemudian mendapat sms balasan dari Ario. Ini dia, sudah bangun rupanya. Kembali aku meminjam ponsel Bapak untuk menelpon Ario. Kami berbincang cukup lama hingga terdengar suaramu bercanda dengan Fajri. Aku menanyakan Kamu pada Ario, dan menitipkan salam untukmu. Dan Kamu menjawabnya dari kejauhan, “Halo Di..wa’alaykumussalam..” suara itu begitu jelas terdengar. Sesaat aku terdiam, mengingat-ingat terakhir kali aku mendengar suaramu seriang ini. Aku lupa. Sudah setahun lebih berlalu. Dan percakapanku dengan Ario sore ini membuka kembali ingatanku padamu..  
            Aku mengenangmu sebagai kawan yang hangat selain kenangan yang istimewa. Banyak pelajaran yang kudapatkan dari kebersamaan dulu denganmu. Keramahtamahan, kesediaan membantu, dan kebersyukuran. Keramahtamahan; adalah sifat yang melekat padamu hingga membuatku pernah menjatuhkan hati padamu. Sayangnya aku terlalu gegabah dan percaya diri, sehingga tidak menyadari bahwa sikap ini kau tunjukkan pada semua orang, termasuk aku. Namun, sikap ini jualah yang membuat kita pernah dekat, dan membuatku memiliki kenangan bahagia denganmu. Kamu juga suka membantu; ini membuatmu berbeda di mataku. Posisimu sebagai seorang pemimpin tidak membatasi gerakmu untuk membantu siapapun tanpa pandang bulu. Laki-laki, perempuan, muhrim, atau bukan, tak menjadi penghalang bantuanmu. Suaramu yang khas dan menentramkan juga masih terekam jelas di memoriku. Pesan-pesanmu tentang ibadah juga masih tersimpan rapi di ingatanku. Bagaimana kamu mengirimiku anjuran untuk qiyamul lail, pesanmu tentang tatacara shalat sunnah tasbih, hingga diskusi-diskusi seputar najis dan solusinya, ah semuanya memiliki tempat tersendiri di ruang hatiku. Sampai akhirnya perbedaan ideologi yang mendasar membuatku harus menjauhimu. Namun di samping itu, aku menemukan kenyataan bahwa kamu tidak hanya dekat denganku. (ini salahku karena tidak menyadari keramahtamahanmu yang universal atau salahmu yang memang suka ‘flirting’ pada lainnya, ya?) entahlah, tapi yang kutahu kamu begitu!
Semua peristiwa berjalan apa adanya, kita pun saling menjauh begitu saja tanpa ada suatu penyebab yang pasti maupun masalah yang berarti. Bagiku, ini semua adalah garisan takdir yang memang mesti terjadi sehingga aku semakin bersyukur, Tuhan memberiku kesempatan mengenalmu. Setahun mengenalmu, ternyata tidak benar-benar cukup membuatku mengenalmu. Pada tahun berikutnya –setelah aku tidak dekat dengamu lagi—aku mendengar banyak hal tentangmu. Dan semua kisah dari kawan-kawanmu mmbuatku cukup tahu, cukup bersedih, dan cukup prihatin dengan keadaanmu. Bukan! Bukan tentang sikap kepemimpinan atau wibawamu atau kebaikanmu. Kamu masih seperti yang dulu kukenal, hanya saja desas-desus yang beredar tentang ‘hubungan pribadi’-mu membuatku sedikit tidak nyaman, “benarkah kamu seperti itu?”
Aku tidak terlalu mengambil pusing berita-berita itu, toh aku bukan siapa-siapamu. Aku hanya cukup tahu berita itu, cukup mendengar, cukup melihat, dan cukup membuat kesimpulan akhir tentangmu, yang juga cukup Tuhan dan hatiku yang tahu. Dan akhirnya aku bersyukur atas kisah perjalananku denganmu. Meski kadang masih ada rindu yang mengalun dalam sepi, aku tak berniat untuk kembali menjalin cerita denganmu, bukan karena apa-apa, kisahmu sudah cukup menempati salah satu ruang di hatiku.
Kini, hanya untaian kata dan doa yang mampu kutuliskan untukmu. Terima kasih pernah hadir dalam hidupku, pernah mengisi hari-hariku, pernah menjadi pengingat ibadahku. Terima kasih telah mengisi kisah perjalananku di SMA. Terima kasih, Gesta-ku. Dimanapun nantinya kamu berada, semoga Tuhan menjagamu dari perilaku yang tercela, menjadikanmu pemimpin yang dapat dipercaya, memberikan pendamping yang sepadan denganmu. Aku cukup bangga mengenalmu sebagai kawan seperjuangan, dan sekenang cintaku..
Doa puja pintaku juga terpanjatkan untuk Ario dan Fajri. Abang-abangku di XII IPS 1.
Aku tunggu kabar kesuksesanmu, bang!

Purworejo, 10 Juni 2013 pukul 8 lewat 23 malam 

Jumat, 14 Juni 2013

Jurnal Terkini - Gempa 13 Juni 2013

Purworejo, Jawa Tengah—Gempa bumi yang cukup menggetarkan suasana terjadi Kamis malam (13/6) pukul 23.45 WIB dan dirasakan hampir di semua wilayah di Kabupaten Purworejo. Gempa yang berlangsung singkat tidak sampai menimbulkan kerusakan, namun sempat menjadi trending topic di salah satu situs jejaring sosial. Menurut informasi yang dilansir dari situs jejaring sosial BMKG, gempa bumi yang terjadi berpusat di 336 km barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kekuatan 6,5 SR. Belum ada informasi lebih lanjut dari BMKG terkait dengan gempa yang terjadi. Namun tentunya hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak karena bukan tidak mungkin akan terjadi gempa susulan. Selain itu, menurut akun pengguna twitter @dianaprst mengatakan bahwa berbagai mention dari kawan-kawannya yang berada di lain daerah di Pulau Jawa juga merasakan getaran gempa dalam waktu yang bersamaan.   Sehingga dapat disimpulkan bahwa getaran gempa dapat dirasakan hampir seluruh daerah selatan di Pulau Jawa. (dyn/journal)

Jumat, 10 Mei 2013

Boyce Avenue - Nothin' On You, My Love, Rocketeer Medley Lyrics

yeah, I love this song so much! wanna sing with me? check it out...


Beautiful girls all over the world
I could be chasing but my time would be wasted
They got nothing on you baby
Nothing on you baby

They might say hi and I might say hey
But you shouldn't worry about what they say
Cause they got nothing on you baby
Nothing on you

If I wrote you a symphony,
Just to say how much you mean to me (what would you do?)
If I told you, you were beautiful
Would you date me on the regular (tell me, would you?)
Well, baby I've been around the world
But I ain't seen myself another girl (like you)
This ring here represents my heart
But there's just one thing I need from you (say "I do")

Cause there are beautiful girls all over the world
I could be chasing but my time would be wasted
They got nothing on you baby
Nothing on you baby

They might say hi and I might say hey
But you shouldn't worry about what they say
Cos they got nothing on you baby
Nothing on you

Now, if I wrote you a love note
And made you smile with every word I wrote (what would you do?)
Would that make you want to change your scene
And wanna be the one on my team (tell me, would you?)
What's the point of waiting anymore?
Cause girl I've never been more sure (baby, it's you)
This ring here represents my heart
And everything that you've been waiting for

Cause there are beautiful girls all over the world
I could be chasing but my time would be wasted
They got nothing on you baby
Nothing on you baby

They might say hi and I might say hey
But you shouldn't worry about what they say
Cause they got nothing on you baby
Nothing on you

Here we go, come with me
There's a world out there that we should see
Take me hand, close your eyes
With you right here, I'm a rocketeer
Let's fly
oh.. oh..
Let's fly

Contoh Abstrak Karya Tulis

ABSTRAK

Diana Prasastiawati. 2012. Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Pembentukan
Karakter Bangsa. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Purworejo

            Karakter bangsa merupakan ciri tertentu yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lain. Karakter bangsa diperoleh dari proses pembentukan dan pembangunan hasil kristalisasi nilai-nilai dan cita-cita bangsa yang diwujudkan dalam suatu perilaku, cara pandang, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat. Namun di era globalisasi, nilai-nilai luhur dan jati diri bangsa kian pudar. Saat ini seluruh elemen bangsa mendapatkan tantangan untuk mengembalikan dan membentuk karakter bangsa. Salah satu caranya dengan melalui penanaman nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari. Penulisan makalah yang berjudul “Nilai-Nilai Kepahlawanan dalam Pembentukan Karakter Bangsa” bertujuan untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai kepahlawanan dapat membentuk karakter bangsa. Sasaran dari hasil penelitian ini adalah seluruh bangsa Indonesia, khususnya generasi muda yang nantinya akan menjadi pemimpin negeri ini.
Penulisan makalah ini dilaksanakan selama bulan September. Kesimpulan yang dihasilkan dari penulisan makalah ini yaitu Nilai-nilai kepahlawanan dapat membentuk karakter bangsa, karena nilai-nilai tersebut merupakan perwujudan dari Pancasila. Penanaman nilai-nilai kepahlawanan terhadap generasi muda dengan melalui penerapan yang sederhana dan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kata kunci: nilai, pahlawan, karakter bangsa








ABSTRACT

Diana Prasastiawati. 2012. The Heroism Values in  The Character
Nation Building. State Senior High School 1 Purworejo

            The Nation character is some specific characteristics of nation which differently them with the other nation. The nation character is obtained from the formation and development process of the crystallization result values and country ambition in habitual, vision, and application in life everyday. Indonesian people are known as the people in the manner of good personality and character within. However in this global era, these higher values and character nation become more and more faded. Nowadays, all Indonesian people get the challenge up to return and build the nation character. One of the ways is by heroism values in living the country and nation everyday. This paper in the title “Heroism Values in The Character Nation Building” has the aim to know how heroism values can build the nation character. The target of this research is all Indonesian people, especially the youth who will lead this country.
This paper has been writing since September. The conclusion is the heroism values can build the character nation, because of these values are the realizations of Pancasila. Giving the heroism values inside of the youth can be done by the simple and obvious application in the daily activities.

Keywords: value, hero, the nation character



Rangkaian Kata-Kata

Biru III

di jalan saat aku kembali pulang
di jalan lain di kota ini
hujan belum memilin,                                    angin
membisik hasrat memacu roda-roda mesin-
mesin bergesek cepat
dan di sebuah simpang tikungan
air turun bulat-bulat. hujan
keras menyakitkan
di jalanan kulitku melepuh. Aku mengaduh
di sela riuh
rodaroda berkejaran
aku pulang
dari perjalanan jauh tanpa tujuan. dengan
hati kuyup, kulit lepuh, dan kedinginan
dunia luar dan hujan
          jahat, Ibu..
kini aku tau.  aku mau pulang
dian-ku di rumah, di antara senyum dan kehangatan
dian-ku adalah sedoa hangatmu dalam senyuman


Purworejo, 12 February 2013
02:23 PM

Rangkaian Kata-Kata

Biru II

Ibu,
bolehkah aku kembali pulang?
Sedikit saja mencecap hangat minuman
di sini sedang turun hujan
lihat hatiku kuyup kebasahan
badanku mengigil kedinginan
sudahkah di rumah engkau siapkan makanan?
Ibu
aku ingin melingkar di pelukmu!


Rangkaian Kata-Kata

Biru I

baiklah aku pergi lagi,
merapal tujuan tak bertuan
dan arak-arak kendaraan
berkawan membunuh jalanan
juga berpasang-pasang mata-mata
menjejali bangunan kota
bilakah nanti takdirku berpapasan
pada aku yang mencari dian.
aku segera kembali !

Senin, 14 Januari 2013

Pertentangan. Kehendak dan Restu.

aku menyesapi saat saat kepalaku tersandar pada sajadah ini dengan bulir-bulir hangat di kedua mataku. Sembahyang asarku begitu berarti. Sujud merupakan satu satunya pilihan yang melegakan, serta menentramkan. Aku bebas mengaduh keluh pada-Nya melalui sujud yang menghilangkan batas antara aku dan Sang Pencipta. Tangisku terisak merenungi kasih, kerelaan, serta dukungan yang utuh sesaat sebelum aku menghadap kehadirat-Nya.

Bapak, setelah sekian lama beradu pandangan, prinsip, dan keinginan sore itu luluh dengan kalimat yang membiaskan kerelaan dan kasih sayangnya padaku, "kalau begitu pertimbanganmu, bapak setuju. bapak mendukung sepenuhnya pilihanmu dan bapak akan prihatin agar anak bapak bisa masuk UI. Bapak setuju, nduk." Begitu juga Ibu. Beliau yang selama ini bersikukuh agar aku melanjutkan sekolah di Jogja saja diam mendengarkan semua kalimat yang Bapak ucapkan. Tak sedikitpun kekecewaan terlukis di wajahnya. Beliau begitu seksama mendengarkan penjelasanku dan mencoba menanggapi dengan lugas, "ya berarti kau hanya pindah sekolah saja dik ya? karena alumni kakak kelasmu sebagian besar berada disana..."

merestui keinginanku melanjutkan ke UI sama saja makan buah simalakama bagi mereka.

Rabu, 09 Januari 2013

ESAI [LAGI]

Pesona dan Gulana:  Penantian di Pesisir Pantai Selatan
Diana Prasastiawati


“Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar
pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan
kupunya wajah
juga disinari matari lain.”
(Aku Berada Kembali – Chairil Anwar 1949)

Desir lembut mengaliri sekujur tubuh. Merinding. Sepotong puisi yang berjudul “Aku Berada Kembali” ditampilkan pada posisi paling atas dari hasil pencarian lewat internet. Sore itu saya tengah membaca berita daerah melalui website Pemda sambil mencari puisi Chairil Anwar sebagai referensi tugas Bahasa Indonesia. Lalu saya menemukan puisi ini. Perlahan saya membaca puisi tersebut sambil mencoba memaknainya. Spontan, saya mengaitkan puisi ini dengan keadaan masyarakat di kota saya yang sebagian  besar penduduknya adalah pensiunan dan perantau.
Iya. Kota ini hampir dipenuhi oleh generasi tua; pensiunan perantauan. Kebanyakan mereka tinggal di kota besar sekian lama, kaya, dan memiliki jabatan; setelah berada di usia senja kembali lagi ke kota ini. Sementara itu, banyak diantara yang muda –setelah menamatkan sekolah menengah atas di kota tercinta—justru berlomba-lomba untuk dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar kota, lulus dan diterima bekerja di sana, tinggal, dan menetap, dan hanya setahun sekali kembali ke kota kecil ini. Begitu seterusnya hingga mereka menua, pensiun, kemudian kembali untuk menghabiskan masa tua di kota ini. Seperti sebuah siklus, pola yang mesti terjadi. Kota ini seakan tak memiliki pilihan dan kesempatan untuk memiliki putra daerah yang setia menemaninya melangsungkan hidup.
 Aih, saya kembali membaca puisi masa perjuangan itu. Saya rasa puisi ini mampu melukiskan kegelisahan mereka; kegelisahan para pensiunan yang kembali ke daerah asalnya setelah merantau sekian lama. Kegelisahan karena semakin banyak perubahan di tanah kelahiran, tetapi sedikit peningkatan kemakmuran, dan mungkin akan menjadi kegelisahan saya, dan generasi muda yang terlambat menyadari masih sedikit kontribusi mereka untuk kota ini.
Nama Purworejo tidaklah asing. Sebuah kabupaten di wilayah Jawa Tengah yang termasuk dalam bilangan Kedu Selatan. Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen di sebelah barat dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah timur. Selain diapit dua wilayah administratif yang cukup luas ini, di sebelah utara Purworejo berbatasan dengan dua kabupaten sekaligus, yakni Kabupaten Wonosobo, dan Magelang. Di sisi selatan, pantainya panjang membentang menghadap samudera Indonesia, sehingga tidak heran apabila Purworejo disebut sebagai jalur transportasi utama via Pantai Selatan. Sebuah perpaduan letak geografis yang strategis dengan berbagai keuntungan yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun salah satu dampak positif dari letak yang kondusif ini adalah nilai keterjangkauan wilayah yang tinggi. Dimana, terdapat banyak sarana transportasi untuk menuju ke Purworejo yang tergolong murah, dan mudah. Jika kita datang dari arah barat seperti Kebumen, Brebes, Cilacap, atau bahkan Jakarta kita dapat menggunakan sarana transportasi darat seperti: angkutan, bus, mobil pribadi dan kereta api. Begitu pun dari arah utara, dan timur. Atau jika kita menggunakan pesawat terbang, jarak antara Bandara Adisucipto Yogyakarta dan Purworejo dapat ditempuh dalam kurun waktu 1 jam perjalanan. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung ke Purworejo.
Potensi wisata Kabupaten Purworejo juga ditunjang oleh letak wilayah yang strategis. Banyak tempat-tempat wisata di Purworejo terdapat di perbatasan-perbatasan maupun di daerah Purworejo sendiri. Beragam jenis wisata seperti: wisata alam, wisata religi, wisata sejarah, hingga wisata kuliner tersedia di kota ini. Pantai merupakan salah satu daya tarik wisata Purworejo yang disukai dan banyak dikunjungi baik wisatawan lokal setempat maupun wisatawan domestik. Sebutlah Pantai Ketawang di wilayah kecamatan Grabag yang merupakan wilayah pantai pasir hitam dengan ombak dan angin yang besar. Pantai ini memiliki garis pantai sepanjang sekitar 3 km, yang kemudian disambung dengan Pantai Pasir Puncu. Pantai Pasir Puncu juga memiliki daya tarik tersendiri yang khas dan berbeda dari pantai Ketawang, yakni terletak di muara sungai Awu-Awu. Di pantai ini terdapat bekas dermaga buatan Belanda yang tak digunakan lagi. Dari dermaga ini kita dapat menyaksikan ombak besar menabrak batu yang membuat air terpercik ke udara dalam jumlah besar.
Radar wisata di sisi barat daya Purworejo mengirimkan sinyal bahwa terdapat Pantai Keburuhan yang terletak di Desa Keburuhan, Kecamatan Ngombol. Letaknya berseberangan dengan Pantai Pasir Puncu yang ada di Kecamatan Grabag. Juga Pantai Siledok yang berada di perbatasan Purworejo dan Kebumen, serta Pantai Jatimalang yang sudah tersohor di kalangan masyarakat Kedu Selatan.
Adapula selain pantai, obyek wisata alam yang banyak diminati adalah air terjun mini atau yang biasa disebut curug. Purworejo terkenal kaya akan curugnya, seperti Curug Muncar di Bruno, Curug Siklothok dan Silangit yang bertingkat tiga di Kaligesing, serta Curug Somongari. Wisata alam curug ini selain menawarkan keindahan alam dan keasrian juga menguji ketangguhan wisatawan karena diperlukan pendakian untuk dapat melihat dan merasakan deras airnya.
Sepanjang barisan perbukitan Menoreh di sisi timur juga menjadi andalan wisata alam. Perbukitan Geger Menjangan mampu memanjakan mata pengunjung untuk melihat kota Purworejo secara lepas hingga ke sudut kota. Keindahan kota Purworejo terlihat jelas dari atas wahana yang dilengkapi dengan fasilitas kolam renang dan taman pemancingan. Tak kalah dengan Geger Menjangan, Goa Seplawan gagah terletak di ujung Kaligesing dengan jarak tempuh 20 km ke arah timur dari pusat kota. Goa yang berketinggian 700 m di atas permukaan laut ini memiliki ciri khusus ornamen terdapat di dalam goa, antara lain: stalaktit, stalakmit, flow stone, helekit, soda straw, gouver dam, dan dinding-dinding berornamen seperti bentuk kerangka ikan. Goa alam yang menakjubkan ini menjadi sangat terkenal saat ditemukan arca emas Dewa Syiwa dan Dewi Pawestri seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Andalan yang tak kalah menarik adalah kawasan hutan lindung Mayungsari di kecamatan Bener yang menjadi obyek wisata alam untuk perkemahan. Suasana yang masih sangat alami dilengkapi fasilitas camping ground yang luas akan memanjakan wisatawan yang rindu suasana alam. Purworejo juga dikenal sebagai sentra kambing peranakan ettawa (PE) yang mahsyur di seluruh negeri. Ekspor kambing PE tidak hanya di dalam negeri, namun hingga luar negeri seperti Malaysia. Peternakan kambing PE yang juga terdapat di kecamatan Kaligesing sering dikunjungi untuk keperluan study wisata dan penelitian mahasiswa.
Selain obyek wisata alam di Purworejo yang memang luar biasa dan menggiurkan, obyek wisata religinya juga tidak kalah menarik. Seperti Masjid Agung Darul Muttaqin atau yang dikenal Masjid Jami’ menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Hal ini tak lain karena bedug yang terdapat di serambi Masjid Jami’ merupakan bedug yang dibuat dari kayu utuh terbesar di dunia. Sejarah mencatat bahwa setelah agama Islam masuk Purworejo (saat itu bernama Bagelen) maka Bupati Cokronegoro I membangun masjid di sebelah barat alun-alun. Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Dalam pembuatan bedug disarankan agar bahan bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Dan dipilihlah kayu jati yang bercabang lima dari desa Pendowo yang pada kemudian hari menjadi bedug Pendowo yang luar biasa besar dan ‘berwibawa’ di kalangan masyarakat Purworejo.
Terlepas dari pengaruh persebaran agama Islam yang besar di masanya, terdapat Gereja Kyai Sadrach yang terletak di daerah Ketug, kecamatan Butuh sebagai saksi bisu perkembangan multikultural di Purworejo. Kyai Sadrach, sosok muslim jawa yang kemudian beralih menjadi seorang Kristen. Kisahnya dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa tanpa meninggalkan ‘kejawen-nya’ turut melengkapi sejarah tokoh di kota Purworejo. Simbol keragaman agama berbalut budaya jawa yang kental. 
Inilah Purworejo yang memiliki selaksa pesona yang takkan pernah habis diuraikan secara tertulis. Kesenian, budaya, kuliner khas, wisata alam, sejarah, dan masyarakatnya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi membangun pesona dan harapan. Sayang tak banyak masyarakat yang tidak menyadari hal ini. Seperti peribahasa “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan nampak jua”, mereka terlalu sibuk untuk berkiblat di kota-kota besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pola pikir bahwa kesejahteraan mesti dicari, bukan digali seolah mengakar di benak. Maka tidak heran jika banyak warga Purworejo meninggalkan kota yang awalnya dalam rangka ‘mencari ilmu’ kemudian berusaha meningkatkan taraf kehidupan di kota lain yang dipandang lebih memiliki masa depan yang menjanjikan. Padahal, bukankah kita telah memiliki segalanya? Hutan, gunung, sungai, laut, dan berjuta potensi memesona dapat menjamin kehidupan kita jika kita mau bersungguh-sungguh mengolahnya.
            Sebagai kabupaten dengan kualitas pendidikan terbaik di Kedu Selatan, Purworejo konsekuen dalam melaksanakan program. Sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta bersaing ketat dalam meningkatkan kualitas lulusannya. Institut pendidikan berjenjang dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga Peerguruan Tinggi tak pernah kekurangan siswa. Di daerah pelosok sekalipun, sedikitnya sudah terdapat 1 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Data dari situs web Pemda menyebutkan bahwa di tingkat sekolah menengah, Kabupaten Purworejo memiliki sedikitnya 43 sekolah menengah pertama (SMP) dan 11 sekolah menengah atas (SMA) serta 7 sekolah menengah kejuruan (SMK) milik pemerintah yang tersebar di berbagai daerah di Purworejo. Suatu apresiasi tersendiri bagi wilayah berpopulasi 709.000 jiwa di pesisir pantai selatan ini.
Apresiasi pemerintah daerah ini jualah yang mengantarkan putra putri Purworejo dalam mencapai kesejahteraan hidupnya. Banyak lulusan SMA yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri favorit seperti UI, UGM, ITB, UNAIR, ITS, UNS, UNY, dan lain sebagainya. Dimana kemudian menjadi orang-orang hebat di ‘pusat’ hingga banyak yang tak sempat menengok kembali kampung halamannya. Setelah bertahun-tahun hidup dan menetap di kota besar, barulah menjelang masa tua banyak perantau berbondong-bondong kembali ke kota tenang ini. Dan disadari atau tidak, hal ini menghambat pertumbuhan kota Purworejo. Secara tidak langsung, Purworejo kehilangan putra-putra terbaik yang sedianya turut berbakti membangun kota ini. Disisi lain, generasi muda dan pelajar Purworejo yang masih menetap dan belajar di kota ini tidak terlalu berperan juga dalam pembangunan daerah. Sebagian besar fokus pada pendidikannya, sementara yang lain sibuk menyesuaikan diri dengan derasnya arus globalisasi yang ada.
            Generasi muda Purworejo termasuk reaktif dalam menyikapi globalisasi. Dimana bagi sebagian besar remaja di wilayah yang baru mengenal globalisasi, kemajuan teknologi, gaya hidup, dan pola konsumerisme-lah yang ditiru. Tidak sedikit pemuda Purworejo yang mencoba-coba balap liar, harajuku style, kebut-kebutan, merokok, pakaian minim, dan kenakalan-kenakalan remaja tingkat abal-abal. Meskipun tidak sedikit juga yang memanfaatkan globalisasi sebagai sarana meningkatkan prestasi, namun umumnya kecenderungan menyalahgunakan kemajuan teknologi dan modernisasi yang merambah Purworejo lebih besar. Terbukti dengan tingginya tingkat penyalahgunaan internet, merebaknya hacker, konsumerisme yang berlebihan, gaya hidup dan model rambut yang sok artis dan masih banyak lagi. Globalisasi ternyata menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi generasi muda di Purworejo. Sayangnya lebih banyak dampak negatif yang diserap daripada dampak positifnya, sehingga sangat sulit mencari generasi muda bernas, berbobot, cerdas, dan berpola pikir global yang peduli pada kemajuan daerahnya.
            Bukan hanya ketiadaan peran putra daerah dan globalisasi yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangan daerah ini. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah juga ikut menghambat pembangunan. Kecenderungan pemerintah bersikap praktis dan administratif membuat kemajuan Purworejo seolah terseok. Pemerintah menjalankan tugas sebatas apa yang tertera dalam peraturan, seolah tidak mau repot dalam mengurusi kemajuan wilayahnya. Bahkan pemerintah seolah tidak benar-benar mengupayakan kemajuan daerahnya. Plakat-plakat dan plang-plang penunjuk arah ke obyek-obyek wisata, misalnya, tidak dipasang permanen dan jelas. Hal ini menyiratkan kesan seolah-olah pemerintah tidak benar-benar memperhatikan daerah tersebut. Padahal, daerah wisata merupakan salah satu sumber pemasukan daerah.
Akses jalan untuk menuju obyek wisata yang juga sebagian besar rusak dan rusak berat seakan dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut dari instansi pemerintahan terkait. Padahal saat banyak terdapat wisatawan dan pengunjung, pemerintah jelas mendapatkan bagian dari pendapatan tersebut. Lalu, kemana uang rakyat dan subsidi dari pemerintah pusat selama ini? Mengapa tidak digunakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan saran kepentingan umum? Bukankah “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”?
Memang wilayah seluas 1034 km2 dengan beragam potensi memesona ini tidak akan sanggup dipegang oleh pemerintah daerah sepenuhnya, namun setidaknya ada upaya lebih yang mesti dilakukan pemerintah. Diperlukan inovasi-inovasi, pembaharuan, penyuluhan dan keberanian mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyat. Pemerintah tidak seharusnya terpaku pada sistem yang akan menghentikan laju kemajuan wilayah. Kita memiliki potensi luar biasa yang patut diberdayakan, diperjuangkan, dan diolah untuk perbaikan taraf hidup masyarakat. Perlu adanya pembenahan-pembenahan yang dilakukan terkait sistem yang mematikan kehidupan masyarakat. Bukankah secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat (5) dan (6) bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dan berhak menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan?
Meski demikian, instansi-instansi terkait memerlukan peran masyarakat untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Maka perlu adanya sinergi positif antara masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, pelajar. Juga peran serta dari warga Purworejo yang bekerja jauh di perantauan. Sejauh-sejauh kita melangkah, semakmur-makmur kita hidup, senyaman apapun di perantauan, tentu kenangan tentang hidup kita terlahir dari kota ini.
Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah. Membangun harapan, peningkatan kemakmuran dalam kehidupan. Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah. Adakah kota ini terlupa? Putra daerah dimanakah rimbanya? Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah.Ada seuntai gulana dalam serumpun pesona disana. Sebuah penantian di pesisir pantai selatan.

“walaupun banyak negri kujalani, yang mahsyur permai dikata orang
tetapi kampung dan rumahku disanalah ku ‘rasa senang
tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan..”
(lagu: Tanah Airku ciptaan Ibu Sud)

Purworejo, 8 Januari 2013. 04:04 am

Minggu, 06 Januari 2013

Contoh ESAI

PENGEMBANG KEPRIBADIAN PEMIMPIN BANGSA: 
KETELADANAN DAN WAWASAN GLOBAL DALAM KEARIFAN LOKAL 

 Diana Prasastiawati
SMA NEGERI 1 PURWOREJO 

 “…………. Indonesia negeriku, orangnya lucu-lucu 
Macam-macam budayanya
 Indonesia tercinta, orangnya ramah-ramah 
Gemah ripah loh jinawi ………”
 (Kutipan lagu: “Katanya” dipopulerkan oleh Trio Kwek Kwek)
        
Sepotong lagu anak-anak yang sangat populer di tahun 90’an itu masih sering saya putar pada playlist telpon genggam saya. Meski sekilas lagu “Katanya” yang dinyanyikan Trio Kwek-Kwek ini sederhana dengan nada-nada yang riang dan bersuka-ria, tapi lagu ini kaya makna dan pelajaran. Betapa luar biasa lagu anak-anak tempo dulu yang mampu mengisahkan indahnya keberagaman ini. Melalui lagu tersebut, anak-anak diajarkan tentang rasa cinta tanah air dan menghargai perbedaan. Sebuah karya yang cerdas dan mendidik. Berbanding terbalik dengan lagu-lagu saat ini. Hampir tidak ada lagu anak-anak yang berisi pesan moral dan pelajaran berarti. Bahkan, keberadaan lagu anak-anak pun dipertanyakan, karena sebagian besar anak-anak lebih suka dan lebih sering mendengarkan lagu-lagu remaja bertemakan cinta. Ironis. Dari cikal-bakal generasi penerus pun tampaknya tengah diarahkan untuk ‘melupakan’ pelajaran-pelajaran penting tentang kehidupan. Anak-anak dan remaja kita diajarkan untuk cenderung memikirkan dirinya sendiri (egois) dan kesenangan dunia semata (hedonis). Keadaan masyarakat Indonesia saat ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang diajarkan lagu-lagu masa kini. Masyarakat semakin tidak peduli dengan keragaman, bahkan menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan. Sebutlah berbagai konflik yang terjadi Indonesia seperti Konflik Semanggi (1998), Konflik Sampit (2001), Konflik Ambon, Peristiwa Tarakan (2010), Konflik Poso, tawuran pelajaran, konflik etnis Cina dan Jawa, hingga Konflik Sampang (2012). Meski tidak semua dilatarbelakangi SARA namun akhirnya merembet dan meluas ke perbedaan SARA. Para pelaku konflik yang notabene warga Negara Indonesia seakan ‘amnesia’ akan multikultural dan asal-usul bangsanya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayahnya dihuni oleh berbagai etnis dengan adat istiadat yang beragam. Karakteristik budaya tiap etnis tersebut pun sangat unik. Hildred Geertz menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang berbeda-beda. Skiner menyebutnya lebih dari 35 suku bangsa. Sementara itu, Sutan Takdir Alisyahbana memperkirakan bahwa ada sekitar 200-250 suku bangsa. Selain suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri atas masyarakat dengan bahasa dan identitas agama yang berbeda-beda (Maryati, 2006:163). Keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat, bahasa, agama yang ada di Indonesia inilah yang merupakan benih-benih multikulturalisme. Dengan keanekaragaman ini jualah bangsa Indonesia mampu memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Pada masa itu, seluruh rakyat Indonesia bersatu padu tanpa melihat perbedaan ciri fisik, suku, ras, dan agama dalam satu tekad yang sama: Merdeka. Diawali dengan sebuah kesadaran akan perbedaan, lahirlah keputusan akan persatuan dalam keragaman hingga tercetuslah sebuah perjanjian suci yang luhur, Sumpah Pemuda. Lalu tujuh belas tahun sesudahnya, dengan dukungan mutlak seluruh masyarakat yang multikultur terwujudlah cita-cita luhur bangsa: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, di era modern dengan globalisasi segala bidang ini, sejarah asal usul dan perjuangan bangsa seolah tersisihkan. Tanpa sadar, kita cenderung lebih mengetahui akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi daripada sejarah asal usul dan perjuangan bangsanya. Masyarakat lebih mudah mengakses internet, menggunakan fasilitas i-phone, e-banking, berinteraksi di jejaring sosial daripada berinteraksi langsung, bergaul yang baik dan menghargai perbedaan di lingkungan sosialnya. Institusi dan institut pendidikan pun yang berperan sebagai media dan agen sosialisasi serta pembentukan karakter, kini lebih menitikberatkan pada penguasaan ilmu pasti (eksakta) dan teknologi. Sementara pendidikan sosial dan soft skill kurang diperhatikan. Sebagai dampak kurangnya pendidikan sosial dan kemasyarakatan, secara tidak langsung terbentuk pola pikir masyarakat akan konsep yang salah tentang multikultural. Kita hanya mengetahui multikultural sebagai suatu kemajemukan dan perbedaan, sehingga hal ini justru memicu timbulnya konflik di masyarakat. Ditambah pula dengan kondisi pendidikan di Indonesia sekarang yang mengutamakan hasil seperti sudah membudaya, bahkan terinternalisasi dan mendarah daging pada diri masyarakat Indonesia. Maka tidak heran apabila kemudian terdapat konflik antaretnis atau masyarakat adat oleh suatu perbedaan paham, karena sebagian besar masyarakat melihat peristiwa tersebut sebagai perselisihan tanpa melihat proses atau penyebab perbedaan paham tersebut. Maka dari itu, persoalan multikulturalisme sangat erat kaitannya dengan pola pendidikan yang berkembang dan berlaku di masyarakat, dan idealnya dapat diatasi melalui jalur pendidikan yang tepat. 

 Multikultural, Konsep Kesederajatan yang Dilupakan

Istilah multikultural tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap kali terdengar berita tentang konflik SARA tentu pikiran kita merujuk satu konsep: Multikulturalisme. Memang nuansa keranekaragam senantiasa menaungi kehidupan bermasyarakat kita, dimana sebagai penduduk di negara kepulauan, kita memiliki masyarakat dengan berbagai suku, adat, ras, agama, dan budaya. Meski demikian, multikulturalisme ternyata bukan suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya terkandung dua pengertian yang kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, banyak, atau beragam, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis yang mana bukan sekadar pengakuan terhadap adanya hal yang berjenis-jenis, melainkan juga mempunyai dampak terhadap berbagai sektor kehidupan. (Maryati, 2006:160) Konsepsi dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat adalah bahwa multikulturalisme tidak hanya bermakna keanekaragaman (kemajemukan) tetapi juga bermakna kesederajatan antarperbedaan yang ada. Maksudnya dalam multikulturalisme terdapat pengertian bahwa tidak ada sistem norma dan budaya yang lebih daripada budaya lain, atau tidak ada sesuatu yang lebih luhur dan agung daripada yang lain. Sehingga konsep multikulturalisme yang berkembang di masyarakat yang menitikberatkan pada keragaman dan perbedaan budaya dan adat istiadat semata perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman serta perasaan paling unggul yang menyebabkan timbulnya konflik horizontal.

  Pendidikan sebagai Media Sosialisasi Multikultural

Konsep kesederajatan dalam multikulturalisme ini saya dapatkan di bangku sekolah. Di sekolah tempat saya belajar, konsep ini dikenalkan melalui pelajaran sosiologi di kelas XI. Itu pun karena saya memilih jurusan sosial. Saya yakin pelajaran tentang konsep multikulturalisme ini serempak hanya diajarkan di kelas XI jurusan sosial sekolah-sekolah formal, sehingga memang benar jika pendidikan dikatakan sebagai salah satu media sosialisasi multikulturalisme yang efektif. Dikatakan media sosialisasi yang efektif karena dalam sebuah lembaga pendidikan, selain memberikan ilmu juga memberikan pelajaran tentang sikap dan tingkah laku. Pendidikan ibarat kawah “Candradimuka” untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang terkandung dalam Pasal 31 (3) UUD 1945, dimana semua hasil pencapaian mestinya berguna bagi kehidupan di masyarakat. Disinilah pendidikan berperan sebagai pengembang kepribadian pemimpin bangsa, sehingga pendidikan merupakan jalur yang efektif untuk menyampaikan pesan moral sebagai bekal berinteraksi dalam masyarakat multikultural. 

 Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Konsep Pendidikan Ideal

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia memiliki sebuah filosofi yang luar biasa, dinamis, dan fleksibel sebagai pedoman pendidik maupun peserta didik dari masa ke masa. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Di depan memberi teladan, ditengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan) (Suwanto, 1997:93). Filosofi sang pelopor pendidikan di Indonesia ini jika diterapkan dalam kehidupan makro tentu memiliki makna yang sangat mengena, yakni dimana seorang camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota dewan, hingga pemimpin negara, merupakan teladan dalam menjalani kehidupan. Keteladanan adalah kunci sekaligus penggerak perubahan, maka apabila seluruh tokoh garis depan ini mampu memberikan teladan tentu akan dapat membawa perubahan di masyarakat. Ketika para pemimpin saling menghargai, saling mengerti dan memahami, serta memiliki toleransi akan keragaman dan perbedaan di masyarakat, tentu kita sebagai warga masyarakat tidak akan sungkan untuk meniru dan melakukan hal yang sama. Sama halnya dengan para pemimpin, tokoh masyarakat juga memiliki peranan untuk dapat membangun keharmonisan dalam perbedaan. Tokoh masyarakat yang notabene lebih dekat dan mengenal masyarakat secara langsung dapat memberikan motivasi, semangat, dan arahan untuk saling menghormati dan tolong menolong dalam kehidupan. Apapun suku, agama, ras, dan adatnya. Tentu dengan keteladanan yang baik pula. Adapun kita sebagai masyarakat biasa, kita juga mesti andil dalam pelaksanaan filosofi ini. Yakni dengan menjaga keharmonisan dan hubungan baik dengan seluruh warga masyarakat dimana pun kita berada. Hal ini dapat kita lakukan dari diri sendiri, dengan menerapkan peribahasa “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dan apabila kita merasa belum mampu untuk memberikan keteladanan di lingkungan sekitar kita, maka setidaknya kita dapat meneladani perilaku baik para pemimpin kita. 

 Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal

Selain menerapkan kembali filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada suatu konsep pendidikan yang dapat kita kembangkan sebagai solusi persoalan multikulturalisme di nusantara ini. Konsep tersebut adalah: “Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal”. Berwawasan global yang dimaksud adalah dapat memiliki wawasan yang luas dan mendunia serta mengikuti perkembangan globalisasi, sedangkan kearifan lokal merujuk pada aturan, norma, tata perilaku dalam adat istiadat dan budaya setempat (budaya masing-masing). Melalui pendidikan ini kita diharapkan mampu mengerti dan memahami berbagai adat, norma dan budaya lain yang berbeda dengan budaya yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri dengan tetap menjunjung tinggi norma perilaku dalam adat dan budaya kita. Dalam mengembangkan pendidikan berwawasan global kita perlu mengendalikan diri dengan berprinsip pada kearifan lokal. Dimana kearifan lokal tersebut merupakan pokok kehidupan kita, karena kearifan lokal yang kita miliki mengakar pada budaya dan adat istiadat kita masing-masing. Pendidikan ini dapat menunjang dan memelihara negeri berjuta kultur, Indonesia. Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk menyesuaikan diri, hidup penuh toleransi, dan saling pengertian antarbudaya antarmasyarakat dalam membina kerukunan berbangsa bernegara. Melalui pendidikan berwawasan global dalam kearifan lokal ini, kita mampu menjadi masyarakat dan bangsa yang berwawasan mendunia dan tetap membudaya.