Pesona dan Gulana: Penantian di Pesisir Pantai Selatan
Diana
Prasastiawati
“Aku
berada kembali. Banyak yang asing:
air
mengalir tukar warna, kapal kapal,
elang-elang
serta
mega yang tersandar
pada
khatulistiwa lain;
rasa
laut telah berubah dan
kupunya
wajah
juga
disinari matari lain.”
(Aku Berada Kembali – Chairil Anwar 1949)
Desir
lembut mengaliri sekujur tubuh. Merinding. Sepotong puisi yang berjudul “Aku
Berada Kembali” ditampilkan pada posisi paling atas dari hasil pencarian lewat
internet. Sore itu saya tengah membaca berita daerah melalui website Pemda sambil mencari puisi
Chairil Anwar sebagai referensi tugas Bahasa Indonesia. Lalu saya menemukan
puisi ini. Perlahan saya membaca puisi tersebut sambil mencoba memaknainya. Spontan,
saya mengaitkan puisi ini dengan keadaan masyarakat di kota saya yang sebagian besar penduduknya adalah pensiunan dan
perantau.
Iya.
Kota ini hampir dipenuhi oleh generasi tua; pensiunan perantauan. Kebanyakan mereka
tinggal di kota besar sekian lama, kaya, dan memiliki jabatan; setelah berada
di usia senja kembali lagi ke kota ini. Sementara itu, banyak diantara yang
muda –setelah menamatkan sekolah menengah atas di kota tercinta—justru berlomba-lomba
untuk dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar kota, lulus dan diterima
bekerja di sana, tinggal, dan menetap, dan hanya setahun sekali kembali ke kota
kecil ini. Begitu seterusnya hingga mereka menua, pensiun, kemudian kembali
untuk menghabiskan masa tua di kota ini. Seperti sebuah siklus, pola yang mesti
terjadi. Kota ini seakan tak memiliki pilihan dan kesempatan untuk memiliki
putra daerah yang setia menemaninya melangsungkan hidup.
Aih, saya kembali membaca puisi masa
perjuangan itu. Saya rasa puisi ini mampu melukiskan kegelisahan mereka;
kegelisahan para pensiunan yang kembali ke daerah asalnya setelah merantau sekian
lama. Kegelisahan karena semakin banyak perubahan di tanah kelahiran, tetapi
sedikit peningkatan kemakmuran, dan mungkin akan menjadi kegelisahan saya, dan
generasi muda yang terlambat menyadari masih sedikit kontribusi mereka untuk
kota ini.
Nama
Purworejo tidaklah asing. Sebuah kabupaten di wilayah Jawa Tengah yang termasuk
dalam bilangan Kedu Selatan. Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan
Kabupaten Kebumen di sebelah barat dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di
sebelah timur. Selain diapit dua wilayah administratif yang cukup luas ini, di
sebelah utara Purworejo berbatasan dengan dua kabupaten sekaligus, yakni Kabupaten
Wonosobo, dan Magelang. Di sisi selatan, pantainya panjang membentang menghadap
samudera Indonesia, sehingga tidak heran apabila Purworejo disebut sebagai
jalur transportasi utama via Pantai Selatan. Sebuah perpaduan letak geografis
yang strategis dengan berbagai keuntungan yang mestinya dapat dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun
salah satu dampak positif dari letak yang kondusif ini adalah nilai
keterjangkauan wilayah yang tinggi. Dimana, terdapat banyak sarana transportasi
untuk menuju ke Purworejo yang tergolong murah, dan mudah. Jika kita datang
dari arah barat seperti Kebumen, Brebes, Cilacap, atau bahkan Jakarta kita
dapat menggunakan sarana transportasi darat seperti: angkutan, bus, mobil
pribadi dan kereta api. Begitu pun dari arah utara, dan timur. Atau jika kita
menggunakan pesawat terbang, jarak antara Bandara Adisucipto Yogyakarta dan
Purworejo dapat ditempuh dalam kurun waktu 1 jam perjalanan. Hal ini tentu
menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung ke Purworejo.
Potensi
wisata Kabupaten Purworejo juga ditunjang oleh letak wilayah yang strategis.
Banyak tempat-tempat wisata di Purworejo terdapat di perbatasan-perbatasan maupun
di daerah Purworejo sendiri. Beragam jenis wisata seperti: wisata alam, wisata
religi, wisata sejarah, hingga wisata kuliner tersedia di kota ini. Pantai
merupakan salah satu daya tarik wisata Purworejo yang disukai dan banyak
dikunjungi baik wisatawan lokal setempat maupun wisatawan domestik. Sebutlah
Pantai Ketawang di wilayah kecamatan Grabag yang merupakan wilayah pantai pasir hitam dengan
ombak dan angin yang besar. Pantai ini memiliki garis pantai sepanjang sekitar
3 km, yang kemudian disambung dengan Pantai Pasir Puncu. Pantai Pasir Puncu
juga memiliki daya tarik tersendiri yang khas dan berbeda dari pantai Ketawang,
yakni terletak di muara sungai Awu-Awu. Di pantai ini terdapat
bekas dermaga buatan Belanda yang tak digunakan lagi. Dari dermaga ini kita dapat
menyaksikan ombak besar menabrak batu yang membuat air terpercik ke udara dalam
jumlah besar.
Radar wisata di sisi barat daya Purworejo mengirimkan
sinyal bahwa terdapat Pantai Keburuhan yang terletak di Desa Keburuhan, Kecamatan Ngombol. Letaknya
berseberangan dengan Pantai Pasir Puncu yang ada di Kecamatan Grabag. Juga Pantai
Siledok yang berada di perbatasan Purworejo dan Kebumen, serta Pantai Jatimalang
yang sudah tersohor di kalangan masyarakat Kedu Selatan.
Adapula selain pantai, obyek wisata alam yang banyak diminati adalah air
terjun mini atau yang biasa disebut curug. Purworejo terkenal kaya akan
curugnya, seperti Curug Muncar di Bruno, Curug Siklothok dan Silangit yang
bertingkat tiga di Kaligesing, serta Curug Somongari. Wisata alam curug ini
selain menawarkan keindahan alam dan keasrian juga menguji ketangguhan
wisatawan karena diperlukan pendakian untuk dapat melihat dan merasakan deras
airnya.
Sepanjang barisan perbukitan Menoreh di sisi timur juga menjadi andalan
wisata alam. Perbukitan Geger Menjangan mampu memanjakan mata pengunjung untuk
melihat kota Purworejo secara lepas hingga ke sudut kota. Keindahan kota
Purworejo terlihat jelas dari atas wahana yang dilengkapi dengan fasilitas
kolam renang dan taman pemancingan. Tak kalah dengan Geger Menjangan, Goa
Seplawan gagah terletak di ujung Kaligesing dengan
jarak tempuh 20 km ke arah timur dari pusat kota. Goa yang berketinggian 700 m
di atas permukaan laut ini memiliki ciri khusus ornamen terdapat di dalam goa,
antara lain: stalaktit, stalakmit, flow
stone, helekit, soda straw, gouver dam, dan dinding-dinding
berornamen seperti bentuk kerangka ikan. Goa alam yang menakjubkan ini menjadi
sangat terkenal saat ditemukan arca emas Dewa Syiwa dan Dewi Pawestri seberat
1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Andalan
yang tak kalah menarik adalah kawasan hutan lindung Mayungsari di kecamatan
Bener yang menjadi obyek wisata alam untuk perkemahan. Suasana yang masih
sangat alami dilengkapi fasilitas camping
ground yang luas akan memanjakan wisatawan yang rindu suasana alam. Purworejo
juga dikenal sebagai sentra kambing peranakan ettawa (PE) yang mahsyur di
seluruh negeri. Ekspor kambing PE tidak hanya di dalam negeri, namun hingga
luar negeri seperti Malaysia. Peternakan kambing PE yang juga terdapat di
kecamatan Kaligesing sering dikunjungi untuk keperluan study wisata dan penelitian mahasiswa.
Selain
obyek wisata alam di Purworejo yang memang luar biasa dan menggiurkan, obyek
wisata religinya juga tidak kalah menarik. Seperti Masjid Agung Darul Muttaqin
atau yang dikenal Masjid Jami’ menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Hal ini tak
lain karena bedug yang terdapat di serambi Masjid Jami’ merupakan bedug yang
dibuat dari kayu utuh terbesar di dunia. Sejarah mencatat bahwa setelah agama
Islam masuk Purworejo (saat itu bernama Bagelen) maka Bupati Cokronegoro I
membangun masjid di sebelah barat alun-alun. Setelah masjid dibangun lalu
muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah
Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian
hari. Dalam pembuatan bedug disarankan agar bahan bedug dibuat dari
pangkal (bongkot) pohon Jati. Dan dipilihlah kayu jati yang bercabang lima dari
desa Pendowo yang pada kemudian hari menjadi bedug Pendowo yang luar biasa
besar dan ‘berwibawa’ di kalangan masyarakat Purworejo.
Terlepas
dari pengaruh persebaran agama Islam yang besar di masanya, terdapat Gereja
Kyai Sadrach yang terletak di daerah Ketug, kecamatan Butuh sebagai saksi bisu perkembangan
multikultural di Purworejo. Kyai Sadrach, sosok muslim jawa yang kemudian
beralih menjadi seorang Kristen. Kisahnya dalam menyebarkan agama Kristen di
Jawa tanpa meninggalkan ‘kejawen-nya’ turut melengkapi sejarah tokoh di kota
Purworejo. Simbol keragaman agama berbalut budaya jawa yang kental.
Inilah
Purworejo yang memiliki selaksa pesona yang takkan pernah habis diuraikan
secara tertulis. Kesenian, budaya, kuliner khas, wisata alam, sejarah, dan
masyarakatnya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi membangun pesona dan
harapan. Sayang tak banyak masyarakat yang tidak menyadari hal ini. Seperti
peribahasa “gajah di pelupuk mata tak
tampak, kuman di seberang lautan nampak jua”, mereka terlalu sibuk untuk
berkiblat di kota-kota besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pola
pikir bahwa kesejahteraan mesti dicari, bukan digali seolah mengakar di benak.
Maka tidak heran jika banyak warga Purworejo meninggalkan kota yang awalnya
dalam rangka ‘mencari ilmu’ kemudian berusaha meningkatkan taraf kehidupan di
kota lain yang dipandang lebih memiliki masa depan yang menjanjikan. Padahal,
bukankah kita telah memiliki segalanya? Hutan, gunung, sungai, laut, dan
berjuta potensi memesona dapat menjamin kehidupan kita jika kita mau
bersungguh-sungguh mengolahnya.
Sebagai kabupaten dengan kualitas
pendidikan terbaik di Kedu Selatan, Purworejo konsekuen dalam melaksanakan
program. Sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta bersaing ketat dalam
meningkatkan kualitas lulusannya. Institut pendidikan berjenjang dari PAUD, TK,
SD, SMP, SMA, hingga Peerguruan Tinggi tak pernah kekurangan siswa. Di daerah
pelosok sekalipun, sedikitnya sudah terdapat 1 sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama. Data dari situs web Pemda menyebutkan bahwa di tingkat
sekolah menengah, Kabupaten Purworejo memiliki sedikitnya 43 sekolah menengah
pertama (SMP) dan 11 sekolah menengah atas (SMA) serta 7 sekolah menengah
kejuruan (SMK) milik pemerintah yang tersebar di berbagai daerah di Purworejo. Suatu
apresiasi tersendiri bagi wilayah berpopulasi 709.000 jiwa di pesisir pantai
selatan ini.
Apresiasi
pemerintah daerah ini jualah yang mengantarkan putra putri Purworejo dalam
mencapai kesejahteraan hidupnya. Banyak lulusan SMA yang diterima di Perguruan
Tinggi Negeri favorit seperti UI, UGM, ITB, UNAIR, ITS, UNS, UNY, dan lain
sebagainya. Dimana kemudian menjadi orang-orang hebat di ‘pusat’ hingga banyak
yang tak sempat menengok kembali kampung halamannya. Setelah bertahun-tahun
hidup dan menetap di kota besar, barulah menjelang masa tua banyak perantau
berbondong-bondong kembali ke kota tenang ini. Dan disadari atau tidak, hal ini
menghambat pertumbuhan kota Purworejo. Secara tidak langsung, Purworejo
kehilangan putra-putra terbaik yang sedianya turut berbakti membangun kota ini.
Disisi lain, generasi muda dan pelajar Purworejo yang masih menetap dan belajar
di kota ini tidak terlalu berperan juga dalam pembangunan daerah. Sebagian
besar fokus pada pendidikannya, sementara yang lain sibuk menyesuaikan diri
dengan derasnya arus globalisasi yang ada.
Generasi muda Purworejo termasuk
reaktif dalam menyikapi globalisasi. Dimana bagi sebagian besar remaja di
wilayah yang baru mengenal globalisasi, kemajuan teknologi, gaya hidup, dan
pola konsumerisme-lah yang ditiru. Tidak sedikit pemuda Purworejo yang
mencoba-coba balap liar, harajuku style,
kebut-kebutan, merokok, pakaian minim, dan kenakalan-kenakalan remaja tingkat
abal-abal. Meskipun tidak sedikit juga yang memanfaatkan globalisasi sebagai
sarana meningkatkan prestasi, namun umumnya kecenderungan menyalahgunakan
kemajuan teknologi dan modernisasi yang merambah Purworejo lebih besar.
Terbukti dengan tingginya tingkat penyalahgunaan internet, merebaknya hacker, konsumerisme yang berlebihan, gaya
hidup dan model rambut yang sok artis
dan masih banyak lagi. Globalisasi ternyata menimbulkan pengaruh yang cukup
besar bagi generasi muda di Purworejo. Sayangnya lebih banyak dampak negatif yang
diserap daripada dampak positifnya, sehingga sangat sulit mencari generasi muda
bernas, berbobot, cerdas, dan berpola pikir global yang peduli pada kemajuan
daerahnya.
Bukan hanya ketiadaan peran putra
daerah dan globalisasi yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangan daerah
ini. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah juga ikut menghambat pembangunan.
Kecenderungan pemerintah bersikap praktis dan administratif membuat kemajuan
Purworejo seolah terseok. Pemerintah menjalankan tugas sebatas apa yang tertera
dalam peraturan, seolah tidak mau repot dalam mengurusi kemajuan wilayahnya.
Bahkan pemerintah seolah tidak benar-benar mengupayakan kemajuan daerahnya.
Plakat-plakat dan plang-plang penunjuk arah ke obyek-obyek wisata, misalnya,
tidak dipasang permanen dan jelas. Hal ini menyiratkan kesan seolah-olah
pemerintah tidak benar-benar memperhatikan daerah tersebut. Padahal, daerah
wisata merupakan salah satu sumber pemasukan daerah.
Akses
jalan untuk menuju obyek wisata yang juga sebagian besar rusak dan rusak berat
seakan dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut dari instansi pemerintahan
terkait. Padahal saat banyak terdapat wisatawan dan pengunjung, pemerintah
jelas mendapatkan bagian dari pendapatan tersebut. Lalu, kemana uang rakyat dan
subsidi dari pemerintah pusat selama ini? Mengapa tidak digunakan untuk
memperbaiki infrastruktur jalan dan saran kepentingan umum? Bukankah “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”?
Memang
wilayah seluas 1034 km2 dengan beragam potensi memesona ini tidak
akan sanggup dipegang oleh pemerintah daerah sepenuhnya, namun setidaknya ada
upaya lebih yang mesti dilakukan pemerintah. Diperlukan inovasi-inovasi,
pembaharuan, penyuluhan dan keberanian mengambil kebijakan untuk memakmurkan
rakyat. Pemerintah tidak seharusnya terpaku pada sistem yang akan menghentikan
laju kemajuan wilayah. Kita memiliki potensi luar biasa yang patut diberdayakan,
diperjuangkan, dan diolah untuk perbaikan taraf hidup masyarakat. Perlu adanya
pembenahan-pembenahan yang dilakukan terkait sistem yang mematikan kehidupan
masyarakat. Bukankah secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat
(5) dan (6) bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dan
berhak menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan
tugas perbantuan?
Meski
demikian, instansi-instansi terkait memerlukan peran masyarakat untuk dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Maka perlu adanya sinergi positif antara
masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, pelajar. Juga peran serta dari warga
Purworejo yang bekerja jauh di perantauan. Sejauh-sejauh kita melangkah,
semakmur-makmur kita hidup, senyaman apapun di perantauan, tentu kenangan
tentang hidup kita terlahir dari kota ini.
Purworejo.
Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah. Membangun harapan,
peningkatan kemakmuran dalam kehidupan. Purworejo. Kota ini tengah membangun,
kota ini tengah berbenah. Adakah kota ini terlupa? Putra daerah dimanakah
rimbanya? Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah.Ada
seuntai gulana dalam serumpun pesona disana. Sebuah penantian di pesisir pantai
selatan.
“walaupun banyak negri kujalani, yang mahsyur permai
dikata orang
tetapi kampung dan rumahku disanalah ku ‘rasa senang
tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan..”
(lagu: Tanah Airku ciptaan Ibu Sud)
Purworejo, 8
Januari 2013. 04:04 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar