Sore ini aku tersentak dari tidurku, tatkala ibu
membangunkanku dengan menyodorkan ponsel tepat di depan wajahku. Ada sms dari
temanmu, penting. Begitu kata beliau.
Dari: Ario
Di. pasal 5 dan 20 isinya bagaimana?
Segera mungkin kubalas sms Ario. Ini penting.
Pasti dia sedang tes, pikirku. Aku segera mencari UUD-ku di tumpukan buku-buku
catatan. Aih, ketemu! Segera kucari pasal-pasal yang dimaksud dan kutuliskan
singkat namun jelas. Pesan terkirim! Ah, lega rasanya. Kemudian kubaca ulang
sms Ario, kulihat waktu pengirimannya. Astagfirullah, pukul 2 siang. Sementara
baru kubuka sms itu pukul 4. Waduhh, jangan-jangan …
Aku bangkit dari tempat tidur,
keluar kamar dan mendekati Bapak yang sedang duduk bersantai. Kusapa beliau,
lalu kutanyakan apakah nomornya memiliki gratisan telepon hari ini. (haha, mau
telepon aja nyari yang gratisann, 2013.. jann!)
Bapak
bilang punya, lalu segera kupinjam ponselnya untuk menelpon si Ario.
Berkali-kali panggilanku masuk, namun tak diangkatnya. Lalu kucoba menelpon
Fajri, kali ini tersambung dan diangkat. (wahaha, ini berbinar-binar nulisnya)
Kami berbicara panjang lebar, dia
bilang Ario sedang tertidur kedinginan, dan baru kutahu ternyata dia sedang berada
di mess bersama Ario dan Kamu. Fajri, Ario, dan Kamu adalah tiga dari
pejuang-pejuang yang masih bertahan seleksi alam mengejar impian. Berjibaku
dalam usaha untuk dapat menjadi taruna di salah satu akademi yang mendidik
calon pemimpin-pemimpin negeri ini. Fajri, Ario, dan Kamu.. teman-teman seperjuanganku
:’)
Aku menyudahi perbincanganku dengan
Fajri, dan tak lama kemudian mendapat sms balasan dari Ario. Ini dia, sudah
bangun rupanya. Kembali aku meminjam ponsel Bapak untuk menelpon Ario. Kami
berbincang cukup lama hingga terdengar suaramu bercanda dengan Fajri. Aku menanyakan Kamu pada Ario, dan
menitipkan salam untukmu. Dan Kamu
menjawabnya dari kejauhan, “Halo Di..wa’alaykumussalam..” suara itu begitu
jelas terdengar. Sesaat aku terdiam, mengingat-ingat terakhir kali aku
mendengar suaramu seriang ini. Aku
lupa. Sudah setahun lebih berlalu. Dan percakapanku dengan Ario sore ini
membuka kembali ingatanku padamu..
Aku mengenangmu sebagai kawan yang
hangat selain kenangan yang istimewa. Banyak pelajaran yang kudapatkan dari
kebersamaan dulu denganmu. Keramahtamahan, kesediaan membantu, dan
kebersyukuran. Keramahtamahan; adalah sifat yang melekat padamu hingga
membuatku pernah menjatuhkan hati padamu. Sayangnya aku terlalu gegabah dan
percaya diri, sehingga tidak menyadari bahwa sikap ini kau tunjukkan pada semua
orang, termasuk aku. Namun, sikap ini jualah yang membuat kita pernah dekat,
dan membuatku memiliki kenangan bahagia denganmu. Kamu juga suka membantu; ini
membuatmu berbeda di mataku. Posisimu sebagai seorang pemimpin tidak membatasi gerakmu
untuk membantu siapapun tanpa pandang bulu. Laki-laki, perempuan, muhrim, atau
bukan, tak menjadi penghalang bantuanmu. Suaramu yang khas dan menentramkan
juga masih terekam jelas di memoriku. Pesan-pesanmu tentang ibadah juga masih
tersimpan rapi di ingatanku. Bagaimana kamu mengirimiku anjuran untuk qiyamul lail, pesanmu tentang tatacara
shalat sunnah tasbih, hingga diskusi-diskusi seputar najis dan solusinya, ah
semuanya memiliki tempat tersendiri di ruang hatiku. Sampai akhirnya perbedaan
ideologi yang mendasar membuatku harus menjauhimu. Namun di samping itu, aku
menemukan kenyataan bahwa kamu tidak hanya dekat denganku. (ini salahku karena tidak
menyadari keramahtamahanmu yang
universal atau salahmu yang memang suka ‘flirting’ pada lainnya, ya?) entahlah, tapi yang kutahu kamu
begitu!
Semua peristiwa berjalan apa adanya, kita pun
saling menjauh begitu saja tanpa ada suatu penyebab yang pasti maupun masalah
yang berarti. Bagiku, ini semua adalah garisan takdir yang memang mesti terjadi
sehingga aku semakin bersyukur, Tuhan memberiku kesempatan mengenalmu. Setahun
mengenalmu, ternyata tidak benar-benar cukup membuatku mengenalmu. Pada tahun
berikutnya –setelah aku tidak dekat dengamu lagi—aku mendengar banyak hal
tentangmu. Dan semua kisah dari kawan-kawanmu mmbuatku cukup tahu, cukup
bersedih, dan cukup prihatin dengan keadaanmu. Bukan! Bukan tentang sikap
kepemimpinan atau wibawamu atau kebaikanmu. Kamu masih seperti yang dulu
kukenal, hanya saja desas-desus yang beredar tentang ‘hubungan pribadi’-mu
membuatku sedikit tidak nyaman, “benarkah kamu seperti itu?”
Aku tidak terlalu mengambil pusing berita-berita
itu, toh aku bukan siapa-siapamu. Aku hanya cukup tahu berita itu, cukup
mendengar, cukup melihat, dan cukup membuat kesimpulan akhir tentangmu, yang
juga cukup Tuhan dan hatiku yang tahu. Dan akhirnya aku bersyukur atas kisah
perjalananku denganmu. Meski kadang masih ada rindu yang mengalun dalam sepi,
aku tak berniat untuk kembali menjalin cerita denganmu, bukan karena apa-apa, kisahmu
sudah cukup menempati salah satu ruang di hatiku.
Kini, hanya untaian kata dan doa yang mampu
kutuliskan untukmu. Terima kasih pernah hadir dalam hidupku, pernah mengisi
hari-hariku, pernah menjadi pengingat ibadahku. Terima kasih telah mengisi
kisah perjalananku di SMA. Terima kasih, Gesta-ku. Dimanapun nantinya kamu
berada, semoga Tuhan menjagamu dari perilaku yang tercela, menjadikanmu
pemimpin yang dapat dipercaya, memberikan pendamping yang sepadan denganmu. Aku
cukup bangga mengenalmu sebagai kawan seperjuangan, dan sekenang cintaku..
Doa puja pintaku juga terpanjatkan untuk Ario dan
Fajri. Abang-abangku di XII IPS 1.
Aku tunggu kabar kesuksesanmu, bang!
Purworejo, 10 Juni 2013 pukul 8 lewat
23 malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar