Aku menatap mata Sonia yang basah. Sesekali ia
menahan napas, mencoba berhenti dari sesenggukannya. Aku masih membisu. Mencoba
memberinya kesempatan untuk berdamai dengan hatinya yang sedang rusuh. Hela
napas panjangku terdengar berat, bukan apa-apa. Aku hanya berusaha memberinya
waktu, setidaknya untuk diam dan mendengarkan kata-kataku.
“Sonia sayang, maukah engkau kuceritakan suatu
kisah?”
Ia mengangguk pelan. Mendekatkan dirinya di tempat
tidurku, dan berbaring di pangkuanku. Aku membelai rambutnya yang hitam
mengkilap.
“Berpuluh-puluh tahun lalu, ada seorang gadis yang
mandiri dan ambisius sepertimu Sonia. Ia adalah pekerja keras yang cerdas,
baik, dan mengagumkan. Begitu kata orang-orang di sekitarnya. Namun di balik
tanggapan orang tentang dirinya, sejujurnya dia adalah gadis yang pemalu, dan
terlalu perasa. Lebih tepatnya, dia selalu berusaha menjaga perasaan
orang-orang di sekitarnya. Kadang dia minder dan menjadi seorang peragu. Tapi
satu hal yang selalu dia perjuangkan; kebahagiaan orang-orang yang
dicintainya.”
Sonia berbaring sambil mempermainkan ujung
rambutnya, takzim mendengarkan.
“Saat menginjak masa perkuliahan, sifatnya yang
pemalu dan minder itu membuatnya selalu jauh dari dunia merah jambu,
kisah-kisah percintaan, Sonia. Namun ia tak terlalu ambil pusing. Baginya yang
terpenting adalah kuliahnya yang mesti segera tuntas dan cita-citanya segera
terwujud, karena dengan itulah ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya.”
“Hidup berjalan biasa saja, sampai akhirnya sesuatu
terjadi dan mengubah hidupnya..”
Sonia hanya diam, tapi ia mulai mendongakkan
wajahnya dan memandangku.
“Saat itu, ia tengah keluar dari ruangan penguji
seusai ujian skripsi dan kegirangan karena ia berhasil lulus dengan nilai
memuaskan. Bahkan, ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi S2-nya dengan
biaya pemerintah melalui seleksi nasional. Ia segera menuju ruang rektorat
untuk mengklarifikasi tawaran tersebut. Tanpa dinyana, ia bertemu dengan
seorang staf kementrian yang saat itu sedang berkunjung ke kampusnya. Seorang
pria muda yang wajahnya familiar. Spontan, gadis itu menyapa. Dan ternyata
benar! Pria itu mengenalnya. Ternyata mereka berasal dari SMA yang sama. Dan
pertemuan itu pun berlanjut..”
Sonia menatapku penuh tanya. Aku melanjutkan ceritaku.
“komunikasi mereka berlanjut, Sonia. Meski gadis itu
pemalu, ia tergolong ramah. Maka dari itu ia berani menyapa si pria staf
menteri. Apalagi ternyata, pria itu satu almamater dengannya. Maka dimulailah
kisah cinta mereka.”
“Akhirnya mereka sepakat menjalin hubungan. Hubungan
jarak jauh memang. Namun itulah tantangannya Sonia. Kesetiaan, kepercayaan, dan
komitmen mereka diuji. Sebulan sekali memang pria itu mengunjunginya. Namun tak
pernah lebih dari satu hari. Ia hanya menjenguk kedua orang tuanya, dan
menyambangi gadisnya. Si pria dan gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu
mereka melalui skype. Itupun dengan
saling berbagi nasihat, saran, dan ilmu-ilmu tentang kehidupan. Tak sekadar
pacaran ala anak muda sekarang, mereka menjalin hubungan secara terhormat. Ya,
tentunya kau pun tahu Sonia, ada wibawa dan jabatan yang harus mereka jaga.
Selain itu, si gadis memang tipikal perempuan serius, sama sepertimu. Ia tak
mudah menjalin hubungan yang tak diketahui arah tujuannya.”
Sonia semakin penasaran.
“Setelah berhasil lulus dengan memuaskan, tibalah
giliran gadis itu diwisuda. Tak sekedar wisuda, ia meraih gelar cumlaude dari kampus tempatnya menimba
ilmu. Dan serta merta ia diangkat menjadi asisten dosen di kampusnya. Lengkap
sudah kebahagiaannya. Kedua orang tua dan adiknya bangga sekaligus terharu
mengingat semua usaha dan perjuangannya.”
Sonia mulai bosan.
“Kau mulai bosan, Sonia? Padahal kisah istimewanya
baru akan dimulai..”
“Satu minggu setelah gadis itu wisuda, si pria menelpon
bahwa ia akan melamar gadis itu. Secepatnya. Laki-laki itu memastikan ia akan
datang awal bulan depan, Sonia.”
Sonia kembali tertarik. Sejenak ia ragu. Namun
akhirnya ia berkata padaku,
“aku lelah Uma, bingung. Bagaimana kalau kita namai
saja gadis itu dan prianya?” ini kali pertama Sonia berbicara setelah
tangisnya.
“Baik sayangku. Siapa namanya?” tanyaku
“terserah Uma saja..”
“Oke. Aku namai gadis itu Ratna dan lelakinya
Galih.” Kataku kemudian.
“Ah, Uma.. Seperti nama tokoh dalam film jaman baheula saja..” kata Sonia sambil
tersenyum. Sonia tersenyum! Ini membuatku sedikit lega. Semoga ia segera lupa
dengan rusuh hatinya.
***
Sore itu, rintik gerimis membasahi jalanan di bawah
sinaran matahari. Ya, senja tengah menjadi-jadi menyiratkan kemilau kuning dan
semburat jingga di awan. Jarang sekali peristiwa seperti ini terjadi. Ratna
baru saja menutup telepon genggamnya dengan gemetar. Benarkah yang ia dengar
barusan? Mas Galih menelponku dan mengatakan bahwa ia akan segera melamarku?
Ratna masih tidak percaya. Ada keraguan di sorot
matanya. Namun demi melihat ayahnya menghampirinya dan menuntunnya ke saung
keluarga, ia segera menghapus jejak kegamangan hatinya. Apalagi ibunya segera
menyusul kedua bapak anak itu.
(bersambung...)