ASA

just scribble, words, and myself. never mind, it's safe :)

Kata saya

~disinilah kata, rasa, dan saya berada. bersama, menjadi sebuah.. karya ~

Senin, 14 Januari 2013

Pertentangan. Kehendak dan Restu.

aku menyesapi saat saat kepalaku tersandar pada sajadah ini dengan bulir-bulir hangat di kedua mataku. Sembahyang asarku begitu berarti. Sujud merupakan satu satunya pilihan yang melegakan, serta menentramkan. Aku bebas mengaduh keluh pada-Nya melalui sujud yang menghilangkan batas antara aku dan Sang Pencipta. Tangisku terisak merenungi kasih, kerelaan, serta dukungan yang utuh sesaat sebelum aku menghadap kehadirat-Nya.

Bapak, setelah sekian lama beradu pandangan, prinsip, dan keinginan sore itu luluh dengan kalimat yang membiaskan kerelaan dan kasih sayangnya padaku, "kalau begitu pertimbanganmu, bapak setuju. bapak mendukung sepenuhnya pilihanmu dan bapak akan prihatin agar anak bapak bisa masuk UI. Bapak setuju, nduk." Begitu juga Ibu. Beliau yang selama ini bersikukuh agar aku melanjutkan sekolah di Jogja saja diam mendengarkan semua kalimat yang Bapak ucapkan. Tak sedikitpun kekecewaan terlukis di wajahnya. Beliau begitu seksama mendengarkan penjelasanku dan mencoba menanggapi dengan lugas, "ya berarti kau hanya pindah sekolah saja dik ya? karena alumni kakak kelasmu sebagian besar berada disana..."

merestui keinginanku melanjutkan ke UI sama saja makan buah simalakama bagi mereka.

Rabu, 09 Januari 2013

ESAI [LAGI]

Pesona dan Gulana:  Penantian di Pesisir Pantai Selatan
Diana Prasastiawati


“Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar
pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan
kupunya wajah
juga disinari matari lain.”
(Aku Berada Kembali – Chairil Anwar 1949)

Desir lembut mengaliri sekujur tubuh. Merinding. Sepotong puisi yang berjudul “Aku Berada Kembali” ditampilkan pada posisi paling atas dari hasil pencarian lewat internet. Sore itu saya tengah membaca berita daerah melalui website Pemda sambil mencari puisi Chairil Anwar sebagai referensi tugas Bahasa Indonesia. Lalu saya menemukan puisi ini. Perlahan saya membaca puisi tersebut sambil mencoba memaknainya. Spontan, saya mengaitkan puisi ini dengan keadaan masyarakat di kota saya yang sebagian  besar penduduknya adalah pensiunan dan perantau.
Iya. Kota ini hampir dipenuhi oleh generasi tua; pensiunan perantauan. Kebanyakan mereka tinggal di kota besar sekian lama, kaya, dan memiliki jabatan; setelah berada di usia senja kembali lagi ke kota ini. Sementara itu, banyak diantara yang muda –setelah menamatkan sekolah menengah atas di kota tercinta—justru berlomba-lomba untuk dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi di luar kota, lulus dan diterima bekerja di sana, tinggal, dan menetap, dan hanya setahun sekali kembali ke kota kecil ini. Begitu seterusnya hingga mereka menua, pensiun, kemudian kembali untuk menghabiskan masa tua di kota ini. Seperti sebuah siklus, pola yang mesti terjadi. Kota ini seakan tak memiliki pilihan dan kesempatan untuk memiliki putra daerah yang setia menemaninya melangsungkan hidup.
 Aih, saya kembali membaca puisi masa perjuangan itu. Saya rasa puisi ini mampu melukiskan kegelisahan mereka; kegelisahan para pensiunan yang kembali ke daerah asalnya setelah merantau sekian lama. Kegelisahan karena semakin banyak perubahan di tanah kelahiran, tetapi sedikit peningkatan kemakmuran, dan mungkin akan menjadi kegelisahan saya, dan generasi muda yang terlambat menyadari masih sedikit kontribusi mereka untuk kota ini.
Nama Purworejo tidaklah asing. Sebuah kabupaten di wilayah Jawa Tengah yang termasuk dalam bilangan Kedu Selatan. Kabupaten Purworejo berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen di sebelah barat dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah timur. Selain diapit dua wilayah administratif yang cukup luas ini, di sebelah utara Purworejo berbatasan dengan dua kabupaten sekaligus, yakni Kabupaten Wonosobo, dan Magelang. Di sisi selatan, pantainya panjang membentang menghadap samudera Indonesia, sehingga tidak heran apabila Purworejo disebut sebagai jalur transportasi utama via Pantai Selatan. Sebuah perpaduan letak geografis yang strategis dengan berbagai keuntungan yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun salah satu dampak positif dari letak yang kondusif ini adalah nilai keterjangkauan wilayah yang tinggi. Dimana, terdapat banyak sarana transportasi untuk menuju ke Purworejo yang tergolong murah, dan mudah. Jika kita datang dari arah barat seperti Kebumen, Brebes, Cilacap, atau bahkan Jakarta kita dapat menggunakan sarana transportasi darat seperti: angkutan, bus, mobil pribadi dan kereta api. Begitu pun dari arah utara, dan timur. Atau jika kita menggunakan pesawat terbang, jarak antara Bandara Adisucipto Yogyakarta dan Purworejo dapat ditempuh dalam kurun waktu 1 jam perjalanan. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung ke Purworejo.
Potensi wisata Kabupaten Purworejo juga ditunjang oleh letak wilayah yang strategis. Banyak tempat-tempat wisata di Purworejo terdapat di perbatasan-perbatasan maupun di daerah Purworejo sendiri. Beragam jenis wisata seperti: wisata alam, wisata religi, wisata sejarah, hingga wisata kuliner tersedia di kota ini. Pantai merupakan salah satu daya tarik wisata Purworejo yang disukai dan banyak dikunjungi baik wisatawan lokal setempat maupun wisatawan domestik. Sebutlah Pantai Ketawang di wilayah kecamatan Grabag yang merupakan wilayah pantai pasir hitam dengan ombak dan angin yang besar. Pantai ini memiliki garis pantai sepanjang sekitar 3 km, yang kemudian disambung dengan Pantai Pasir Puncu. Pantai Pasir Puncu juga memiliki daya tarik tersendiri yang khas dan berbeda dari pantai Ketawang, yakni terletak di muara sungai Awu-Awu. Di pantai ini terdapat bekas dermaga buatan Belanda yang tak digunakan lagi. Dari dermaga ini kita dapat menyaksikan ombak besar menabrak batu yang membuat air terpercik ke udara dalam jumlah besar.
Radar wisata di sisi barat daya Purworejo mengirimkan sinyal bahwa terdapat Pantai Keburuhan yang terletak di Desa Keburuhan, Kecamatan Ngombol. Letaknya berseberangan dengan Pantai Pasir Puncu yang ada di Kecamatan Grabag. Juga Pantai Siledok yang berada di perbatasan Purworejo dan Kebumen, serta Pantai Jatimalang yang sudah tersohor di kalangan masyarakat Kedu Selatan.
Adapula selain pantai, obyek wisata alam yang banyak diminati adalah air terjun mini atau yang biasa disebut curug. Purworejo terkenal kaya akan curugnya, seperti Curug Muncar di Bruno, Curug Siklothok dan Silangit yang bertingkat tiga di Kaligesing, serta Curug Somongari. Wisata alam curug ini selain menawarkan keindahan alam dan keasrian juga menguji ketangguhan wisatawan karena diperlukan pendakian untuk dapat melihat dan merasakan deras airnya.
Sepanjang barisan perbukitan Menoreh di sisi timur juga menjadi andalan wisata alam. Perbukitan Geger Menjangan mampu memanjakan mata pengunjung untuk melihat kota Purworejo secara lepas hingga ke sudut kota. Keindahan kota Purworejo terlihat jelas dari atas wahana yang dilengkapi dengan fasilitas kolam renang dan taman pemancingan. Tak kalah dengan Geger Menjangan, Goa Seplawan gagah terletak di ujung Kaligesing dengan jarak tempuh 20 km ke arah timur dari pusat kota. Goa yang berketinggian 700 m di atas permukaan laut ini memiliki ciri khusus ornamen terdapat di dalam goa, antara lain: stalaktit, stalakmit, flow stone, helekit, soda straw, gouver dam, dan dinding-dinding berornamen seperti bentuk kerangka ikan. Goa alam yang menakjubkan ini menjadi sangat terkenal saat ditemukan arca emas Dewa Syiwa dan Dewi Pawestri seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Andalan yang tak kalah menarik adalah kawasan hutan lindung Mayungsari di kecamatan Bener yang menjadi obyek wisata alam untuk perkemahan. Suasana yang masih sangat alami dilengkapi fasilitas camping ground yang luas akan memanjakan wisatawan yang rindu suasana alam. Purworejo juga dikenal sebagai sentra kambing peranakan ettawa (PE) yang mahsyur di seluruh negeri. Ekspor kambing PE tidak hanya di dalam negeri, namun hingga luar negeri seperti Malaysia. Peternakan kambing PE yang juga terdapat di kecamatan Kaligesing sering dikunjungi untuk keperluan study wisata dan penelitian mahasiswa.
Selain obyek wisata alam di Purworejo yang memang luar biasa dan menggiurkan, obyek wisata religinya juga tidak kalah menarik. Seperti Masjid Agung Darul Muttaqin atau yang dikenal Masjid Jami’ menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Hal ini tak lain karena bedug yang terdapat di serambi Masjid Jami’ merupakan bedug yang dibuat dari kayu utuh terbesar di dunia. Sejarah mencatat bahwa setelah agama Islam masuk Purworejo (saat itu bernama Bagelen) maka Bupati Cokronegoro I membangun masjid di sebelah barat alun-alun. Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Dalam pembuatan bedug disarankan agar bahan bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Dan dipilihlah kayu jati yang bercabang lima dari desa Pendowo yang pada kemudian hari menjadi bedug Pendowo yang luar biasa besar dan ‘berwibawa’ di kalangan masyarakat Purworejo.
Terlepas dari pengaruh persebaran agama Islam yang besar di masanya, terdapat Gereja Kyai Sadrach yang terletak di daerah Ketug, kecamatan Butuh sebagai saksi bisu perkembangan multikultural di Purworejo. Kyai Sadrach, sosok muslim jawa yang kemudian beralih menjadi seorang Kristen. Kisahnya dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa tanpa meninggalkan ‘kejawen-nya’ turut melengkapi sejarah tokoh di kota Purworejo. Simbol keragaman agama berbalut budaya jawa yang kental. 
Inilah Purworejo yang memiliki selaksa pesona yang takkan pernah habis diuraikan secara tertulis. Kesenian, budaya, kuliner khas, wisata alam, sejarah, dan masyarakatnya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi membangun pesona dan harapan. Sayang tak banyak masyarakat yang tidak menyadari hal ini. Seperti peribahasa “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan nampak jua”, mereka terlalu sibuk untuk berkiblat di kota-kota besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pola pikir bahwa kesejahteraan mesti dicari, bukan digali seolah mengakar di benak. Maka tidak heran jika banyak warga Purworejo meninggalkan kota yang awalnya dalam rangka ‘mencari ilmu’ kemudian berusaha meningkatkan taraf kehidupan di kota lain yang dipandang lebih memiliki masa depan yang menjanjikan. Padahal, bukankah kita telah memiliki segalanya? Hutan, gunung, sungai, laut, dan berjuta potensi memesona dapat menjamin kehidupan kita jika kita mau bersungguh-sungguh mengolahnya.
            Sebagai kabupaten dengan kualitas pendidikan terbaik di Kedu Selatan, Purworejo konsekuen dalam melaksanakan program. Sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta bersaing ketat dalam meningkatkan kualitas lulusannya. Institut pendidikan berjenjang dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga Peerguruan Tinggi tak pernah kekurangan siswa. Di daerah pelosok sekalipun, sedikitnya sudah terdapat 1 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Data dari situs web Pemda menyebutkan bahwa di tingkat sekolah menengah, Kabupaten Purworejo memiliki sedikitnya 43 sekolah menengah pertama (SMP) dan 11 sekolah menengah atas (SMA) serta 7 sekolah menengah kejuruan (SMK) milik pemerintah yang tersebar di berbagai daerah di Purworejo. Suatu apresiasi tersendiri bagi wilayah berpopulasi 709.000 jiwa di pesisir pantai selatan ini.
Apresiasi pemerintah daerah ini jualah yang mengantarkan putra putri Purworejo dalam mencapai kesejahteraan hidupnya. Banyak lulusan SMA yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri favorit seperti UI, UGM, ITB, UNAIR, ITS, UNS, UNY, dan lain sebagainya. Dimana kemudian menjadi orang-orang hebat di ‘pusat’ hingga banyak yang tak sempat menengok kembali kampung halamannya. Setelah bertahun-tahun hidup dan menetap di kota besar, barulah menjelang masa tua banyak perantau berbondong-bondong kembali ke kota tenang ini. Dan disadari atau tidak, hal ini menghambat pertumbuhan kota Purworejo. Secara tidak langsung, Purworejo kehilangan putra-putra terbaik yang sedianya turut berbakti membangun kota ini. Disisi lain, generasi muda dan pelajar Purworejo yang masih menetap dan belajar di kota ini tidak terlalu berperan juga dalam pembangunan daerah. Sebagian besar fokus pada pendidikannya, sementara yang lain sibuk menyesuaikan diri dengan derasnya arus globalisasi yang ada.
            Generasi muda Purworejo termasuk reaktif dalam menyikapi globalisasi. Dimana bagi sebagian besar remaja di wilayah yang baru mengenal globalisasi, kemajuan teknologi, gaya hidup, dan pola konsumerisme-lah yang ditiru. Tidak sedikit pemuda Purworejo yang mencoba-coba balap liar, harajuku style, kebut-kebutan, merokok, pakaian minim, dan kenakalan-kenakalan remaja tingkat abal-abal. Meskipun tidak sedikit juga yang memanfaatkan globalisasi sebagai sarana meningkatkan prestasi, namun umumnya kecenderungan menyalahgunakan kemajuan teknologi dan modernisasi yang merambah Purworejo lebih besar. Terbukti dengan tingginya tingkat penyalahgunaan internet, merebaknya hacker, konsumerisme yang berlebihan, gaya hidup dan model rambut yang sok artis dan masih banyak lagi. Globalisasi ternyata menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi generasi muda di Purworejo. Sayangnya lebih banyak dampak negatif yang diserap daripada dampak positifnya, sehingga sangat sulit mencari generasi muda bernas, berbobot, cerdas, dan berpola pikir global yang peduli pada kemajuan daerahnya.
            Bukan hanya ketiadaan peran putra daerah dan globalisasi yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangan daerah ini. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah juga ikut menghambat pembangunan. Kecenderungan pemerintah bersikap praktis dan administratif membuat kemajuan Purworejo seolah terseok. Pemerintah menjalankan tugas sebatas apa yang tertera dalam peraturan, seolah tidak mau repot dalam mengurusi kemajuan wilayahnya. Bahkan pemerintah seolah tidak benar-benar mengupayakan kemajuan daerahnya. Plakat-plakat dan plang-plang penunjuk arah ke obyek-obyek wisata, misalnya, tidak dipasang permanen dan jelas. Hal ini menyiratkan kesan seolah-olah pemerintah tidak benar-benar memperhatikan daerah tersebut. Padahal, daerah wisata merupakan salah satu sumber pemasukan daerah.
Akses jalan untuk menuju obyek wisata yang juga sebagian besar rusak dan rusak berat seakan dibiarkan begitu saja tanpa ada tindak lanjut dari instansi pemerintahan terkait. Padahal saat banyak terdapat wisatawan dan pengunjung, pemerintah jelas mendapatkan bagian dari pendapatan tersebut. Lalu, kemana uang rakyat dan subsidi dari pemerintah pusat selama ini? Mengapa tidak digunakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan saran kepentingan umum? Bukankah “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”?
Memang wilayah seluas 1034 km2 dengan beragam potensi memesona ini tidak akan sanggup dipegang oleh pemerintah daerah sepenuhnya, namun setidaknya ada upaya lebih yang mesti dilakukan pemerintah. Diperlukan inovasi-inovasi, pembaharuan, penyuluhan dan keberanian mengambil kebijakan untuk memakmurkan rakyat. Pemerintah tidak seharusnya terpaku pada sistem yang akan menghentikan laju kemajuan wilayah. Kita memiliki potensi luar biasa yang patut diberdayakan, diperjuangkan, dan diolah untuk perbaikan taraf hidup masyarakat. Perlu adanya pembenahan-pembenahan yang dilakukan terkait sistem yang mematikan kehidupan masyarakat. Bukankah secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat (5) dan (6) bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dan berhak menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan?
Meski demikian, instansi-instansi terkait memerlukan peran masyarakat untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Maka perlu adanya sinergi positif antara masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, pelajar. Juga peran serta dari warga Purworejo yang bekerja jauh di perantauan. Sejauh-sejauh kita melangkah, semakmur-makmur kita hidup, senyaman apapun di perantauan, tentu kenangan tentang hidup kita terlahir dari kota ini.
Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah. Membangun harapan, peningkatan kemakmuran dalam kehidupan. Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah. Adakah kota ini terlupa? Putra daerah dimanakah rimbanya? Purworejo. Kota ini tengah membangun, kota ini tengah berbenah.Ada seuntai gulana dalam serumpun pesona disana. Sebuah penantian di pesisir pantai selatan.

“walaupun banyak negri kujalani, yang mahsyur permai dikata orang
tetapi kampung dan rumahku disanalah ku ‘rasa senang
tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan..”
(lagu: Tanah Airku ciptaan Ibu Sud)

Purworejo, 8 Januari 2013. 04:04 am

Minggu, 06 Januari 2013

Contoh ESAI

PENGEMBANG KEPRIBADIAN PEMIMPIN BANGSA: 
KETELADANAN DAN WAWASAN GLOBAL DALAM KEARIFAN LOKAL 

 Diana Prasastiawati
SMA NEGERI 1 PURWOREJO 

 “…………. Indonesia negeriku, orangnya lucu-lucu 
Macam-macam budayanya
 Indonesia tercinta, orangnya ramah-ramah 
Gemah ripah loh jinawi ………”
 (Kutipan lagu: “Katanya” dipopulerkan oleh Trio Kwek Kwek)
        
Sepotong lagu anak-anak yang sangat populer di tahun 90’an itu masih sering saya putar pada playlist telpon genggam saya. Meski sekilas lagu “Katanya” yang dinyanyikan Trio Kwek-Kwek ini sederhana dengan nada-nada yang riang dan bersuka-ria, tapi lagu ini kaya makna dan pelajaran. Betapa luar biasa lagu anak-anak tempo dulu yang mampu mengisahkan indahnya keberagaman ini. Melalui lagu tersebut, anak-anak diajarkan tentang rasa cinta tanah air dan menghargai perbedaan. Sebuah karya yang cerdas dan mendidik. Berbanding terbalik dengan lagu-lagu saat ini. Hampir tidak ada lagu anak-anak yang berisi pesan moral dan pelajaran berarti. Bahkan, keberadaan lagu anak-anak pun dipertanyakan, karena sebagian besar anak-anak lebih suka dan lebih sering mendengarkan lagu-lagu remaja bertemakan cinta. Ironis. Dari cikal-bakal generasi penerus pun tampaknya tengah diarahkan untuk ‘melupakan’ pelajaran-pelajaran penting tentang kehidupan. Anak-anak dan remaja kita diajarkan untuk cenderung memikirkan dirinya sendiri (egois) dan kesenangan dunia semata (hedonis). Keadaan masyarakat Indonesia saat ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang diajarkan lagu-lagu masa kini. Masyarakat semakin tidak peduli dengan keragaman, bahkan menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan. Sebutlah berbagai konflik yang terjadi Indonesia seperti Konflik Semanggi (1998), Konflik Sampit (2001), Konflik Ambon, Peristiwa Tarakan (2010), Konflik Poso, tawuran pelajaran, konflik etnis Cina dan Jawa, hingga Konflik Sampang (2012). Meski tidak semua dilatarbelakangi SARA namun akhirnya merembet dan meluas ke perbedaan SARA. Para pelaku konflik yang notabene warga Negara Indonesia seakan ‘amnesia’ akan multikultural dan asal-usul bangsanya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayahnya dihuni oleh berbagai etnis dengan adat istiadat yang beragam. Karakteristik budaya tiap etnis tersebut pun sangat unik. Hildred Geertz menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang berbeda-beda. Skiner menyebutnya lebih dari 35 suku bangsa. Sementara itu, Sutan Takdir Alisyahbana memperkirakan bahwa ada sekitar 200-250 suku bangsa. Selain suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri atas masyarakat dengan bahasa dan identitas agama yang berbeda-beda (Maryati, 2006:163). Keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat, bahasa, agama yang ada di Indonesia inilah yang merupakan benih-benih multikulturalisme. Dengan keanekaragaman ini jualah bangsa Indonesia mampu memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Pada masa itu, seluruh rakyat Indonesia bersatu padu tanpa melihat perbedaan ciri fisik, suku, ras, dan agama dalam satu tekad yang sama: Merdeka. Diawali dengan sebuah kesadaran akan perbedaan, lahirlah keputusan akan persatuan dalam keragaman hingga tercetuslah sebuah perjanjian suci yang luhur, Sumpah Pemuda. Lalu tujuh belas tahun sesudahnya, dengan dukungan mutlak seluruh masyarakat yang multikultur terwujudlah cita-cita luhur bangsa: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, di era modern dengan globalisasi segala bidang ini, sejarah asal usul dan perjuangan bangsa seolah tersisihkan. Tanpa sadar, kita cenderung lebih mengetahui akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi daripada sejarah asal usul dan perjuangan bangsanya. Masyarakat lebih mudah mengakses internet, menggunakan fasilitas i-phone, e-banking, berinteraksi di jejaring sosial daripada berinteraksi langsung, bergaul yang baik dan menghargai perbedaan di lingkungan sosialnya. Institusi dan institut pendidikan pun yang berperan sebagai media dan agen sosialisasi serta pembentukan karakter, kini lebih menitikberatkan pada penguasaan ilmu pasti (eksakta) dan teknologi. Sementara pendidikan sosial dan soft skill kurang diperhatikan. Sebagai dampak kurangnya pendidikan sosial dan kemasyarakatan, secara tidak langsung terbentuk pola pikir masyarakat akan konsep yang salah tentang multikultural. Kita hanya mengetahui multikultural sebagai suatu kemajemukan dan perbedaan, sehingga hal ini justru memicu timbulnya konflik di masyarakat. Ditambah pula dengan kondisi pendidikan di Indonesia sekarang yang mengutamakan hasil seperti sudah membudaya, bahkan terinternalisasi dan mendarah daging pada diri masyarakat Indonesia. Maka tidak heran apabila kemudian terdapat konflik antaretnis atau masyarakat adat oleh suatu perbedaan paham, karena sebagian besar masyarakat melihat peristiwa tersebut sebagai perselisihan tanpa melihat proses atau penyebab perbedaan paham tersebut. Maka dari itu, persoalan multikulturalisme sangat erat kaitannya dengan pola pendidikan yang berkembang dan berlaku di masyarakat, dan idealnya dapat diatasi melalui jalur pendidikan yang tepat. 

 Multikultural, Konsep Kesederajatan yang Dilupakan

Istilah multikultural tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap kali terdengar berita tentang konflik SARA tentu pikiran kita merujuk satu konsep: Multikulturalisme. Memang nuansa keranekaragam senantiasa menaungi kehidupan bermasyarakat kita, dimana sebagai penduduk di negara kepulauan, kita memiliki masyarakat dengan berbagai suku, adat, ras, agama, dan budaya. Meski demikian, multikulturalisme ternyata bukan suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya terkandung dua pengertian yang kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, banyak, atau beragam, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis yang mana bukan sekadar pengakuan terhadap adanya hal yang berjenis-jenis, melainkan juga mempunyai dampak terhadap berbagai sektor kehidupan. (Maryati, 2006:160) Konsepsi dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat adalah bahwa multikulturalisme tidak hanya bermakna keanekaragaman (kemajemukan) tetapi juga bermakna kesederajatan antarperbedaan yang ada. Maksudnya dalam multikulturalisme terdapat pengertian bahwa tidak ada sistem norma dan budaya yang lebih daripada budaya lain, atau tidak ada sesuatu yang lebih luhur dan agung daripada yang lain. Sehingga konsep multikulturalisme yang berkembang di masyarakat yang menitikberatkan pada keragaman dan perbedaan budaya dan adat istiadat semata perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman serta perasaan paling unggul yang menyebabkan timbulnya konflik horizontal.

  Pendidikan sebagai Media Sosialisasi Multikultural

Konsep kesederajatan dalam multikulturalisme ini saya dapatkan di bangku sekolah. Di sekolah tempat saya belajar, konsep ini dikenalkan melalui pelajaran sosiologi di kelas XI. Itu pun karena saya memilih jurusan sosial. Saya yakin pelajaran tentang konsep multikulturalisme ini serempak hanya diajarkan di kelas XI jurusan sosial sekolah-sekolah formal, sehingga memang benar jika pendidikan dikatakan sebagai salah satu media sosialisasi multikulturalisme yang efektif. Dikatakan media sosialisasi yang efektif karena dalam sebuah lembaga pendidikan, selain memberikan ilmu juga memberikan pelajaran tentang sikap dan tingkah laku. Pendidikan ibarat kawah “Candradimuka” untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang terkandung dalam Pasal 31 (3) UUD 1945, dimana semua hasil pencapaian mestinya berguna bagi kehidupan di masyarakat. Disinilah pendidikan berperan sebagai pengembang kepribadian pemimpin bangsa, sehingga pendidikan merupakan jalur yang efektif untuk menyampaikan pesan moral sebagai bekal berinteraksi dalam masyarakat multikultural. 

 Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Konsep Pendidikan Ideal

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia memiliki sebuah filosofi yang luar biasa, dinamis, dan fleksibel sebagai pedoman pendidik maupun peserta didik dari masa ke masa. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Di depan memberi teladan, ditengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan) (Suwanto, 1997:93). Filosofi sang pelopor pendidikan di Indonesia ini jika diterapkan dalam kehidupan makro tentu memiliki makna yang sangat mengena, yakni dimana seorang camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota dewan, hingga pemimpin negara, merupakan teladan dalam menjalani kehidupan. Keteladanan adalah kunci sekaligus penggerak perubahan, maka apabila seluruh tokoh garis depan ini mampu memberikan teladan tentu akan dapat membawa perubahan di masyarakat. Ketika para pemimpin saling menghargai, saling mengerti dan memahami, serta memiliki toleransi akan keragaman dan perbedaan di masyarakat, tentu kita sebagai warga masyarakat tidak akan sungkan untuk meniru dan melakukan hal yang sama. Sama halnya dengan para pemimpin, tokoh masyarakat juga memiliki peranan untuk dapat membangun keharmonisan dalam perbedaan. Tokoh masyarakat yang notabene lebih dekat dan mengenal masyarakat secara langsung dapat memberikan motivasi, semangat, dan arahan untuk saling menghormati dan tolong menolong dalam kehidupan. Apapun suku, agama, ras, dan adatnya. Tentu dengan keteladanan yang baik pula. Adapun kita sebagai masyarakat biasa, kita juga mesti andil dalam pelaksanaan filosofi ini. Yakni dengan menjaga keharmonisan dan hubungan baik dengan seluruh warga masyarakat dimana pun kita berada. Hal ini dapat kita lakukan dari diri sendiri, dengan menerapkan peribahasa “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dan apabila kita merasa belum mampu untuk memberikan keteladanan di lingkungan sekitar kita, maka setidaknya kita dapat meneladani perilaku baik para pemimpin kita. 

 Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal

Selain menerapkan kembali filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada suatu konsep pendidikan yang dapat kita kembangkan sebagai solusi persoalan multikulturalisme di nusantara ini. Konsep tersebut adalah: “Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal”. Berwawasan global yang dimaksud adalah dapat memiliki wawasan yang luas dan mendunia serta mengikuti perkembangan globalisasi, sedangkan kearifan lokal merujuk pada aturan, norma, tata perilaku dalam adat istiadat dan budaya setempat (budaya masing-masing). Melalui pendidikan ini kita diharapkan mampu mengerti dan memahami berbagai adat, norma dan budaya lain yang berbeda dengan budaya yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri dengan tetap menjunjung tinggi norma perilaku dalam adat dan budaya kita. Dalam mengembangkan pendidikan berwawasan global kita perlu mengendalikan diri dengan berprinsip pada kearifan lokal. Dimana kearifan lokal tersebut merupakan pokok kehidupan kita, karena kearifan lokal yang kita miliki mengakar pada budaya dan adat istiadat kita masing-masing. Pendidikan ini dapat menunjang dan memelihara negeri berjuta kultur, Indonesia. Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk menyesuaikan diri, hidup penuh toleransi, dan saling pengertian antarbudaya antarmasyarakat dalam membina kerukunan berbangsa bernegara. Melalui pendidikan berwawasan global dalam kearifan lokal ini, kita mampu menjadi masyarakat dan bangsa yang berwawasan mendunia dan tetap membudaya.