ASA

just scribble, words, and myself. never mind, it's safe :)

Kata saya

~disinilah kata, rasa, dan saya berada. bersama, menjadi sebuah.. karya ~

Minggu, 06 Januari 2013

Contoh ESAI

PENGEMBANG KEPRIBADIAN PEMIMPIN BANGSA: 
KETELADANAN DAN WAWASAN GLOBAL DALAM KEARIFAN LOKAL 

 Diana Prasastiawati
SMA NEGERI 1 PURWOREJO 

 “…………. Indonesia negeriku, orangnya lucu-lucu 
Macam-macam budayanya
 Indonesia tercinta, orangnya ramah-ramah 
Gemah ripah loh jinawi ………”
 (Kutipan lagu: “Katanya” dipopulerkan oleh Trio Kwek Kwek)
        
Sepotong lagu anak-anak yang sangat populer di tahun 90’an itu masih sering saya putar pada playlist telpon genggam saya. Meski sekilas lagu “Katanya” yang dinyanyikan Trio Kwek-Kwek ini sederhana dengan nada-nada yang riang dan bersuka-ria, tapi lagu ini kaya makna dan pelajaran. Betapa luar biasa lagu anak-anak tempo dulu yang mampu mengisahkan indahnya keberagaman ini. Melalui lagu tersebut, anak-anak diajarkan tentang rasa cinta tanah air dan menghargai perbedaan. Sebuah karya yang cerdas dan mendidik. Berbanding terbalik dengan lagu-lagu saat ini. Hampir tidak ada lagu anak-anak yang berisi pesan moral dan pelajaran berarti. Bahkan, keberadaan lagu anak-anak pun dipertanyakan, karena sebagian besar anak-anak lebih suka dan lebih sering mendengarkan lagu-lagu remaja bertemakan cinta. Ironis. Dari cikal-bakal generasi penerus pun tampaknya tengah diarahkan untuk ‘melupakan’ pelajaran-pelajaran penting tentang kehidupan. Anak-anak dan remaja kita diajarkan untuk cenderung memikirkan dirinya sendiri (egois) dan kesenangan dunia semata (hedonis). Keadaan masyarakat Indonesia saat ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil yang diajarkan lagu-lagu masa kini. Masyarakat semakin tidak peduli dengan keragaman, bahkan menganggap perbedaan sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan. Sebutlah berbagai konflik yang terjadi Indonesia seperti Konflik Semanggi (1998), Konflik Sampit (2001), Konflik Ambon, Peristiwa Tarakan (2010), Konflik Poso, tawuran pelajaran, konflik etnis Cina dan Jawa, hingga Konflik Sampang (2012). Meski tidak semua dilatarbelakangi SARA namun akhirnya merembet dan meluas ke perbedaan SARA. Para pelaku konflik yang notabene warga Negara Indonesia seakan ‘amnesia’ akan multikultural dan asal-usul bangsanya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayahnya dihuni oleh berbagai etnis dengan adat istiadat yang beragam. Karakteristik budaya tiap etnis tersebut pun sangat unik. Hildred Geertz menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang berbeda-beda. Skiner menyebutnya lebih dari 35 suku bangsa. Sementara itu, Sutan Takdir Alisyahbana memperkirakan bahwa ada sekitar 200-250 suku bangsa. Selain suku bangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri atas masyarakat dengan bahasa dan identitas agama yang berbeda-beda (Maryati, 2006:163). Keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat, bahasa, agama yang ada di Indonesia inilah yang merupakan benih-benih multikulturalisme. Dengan keanekaragaman ini jualah bangsa Indonesia mampu memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Pada masa itu, seluruh rakyat Indonesia bersatu padu tanpa melihat perbedaan ciri fisik, suku, ras, dan agama dalam satu tekad yang sama: Merdeka. Diawali dengan sebuah kesadaran akan perbedaan, lahirlah keputusan akan persatuan dalam keragaman hingga tercetuslah sebuah perjanjian suci yang luhur, Sumpah Pemuda. Lalu tujuh belas tahun sesudahnya, dengan dukungan mutlak seluruh masyarakat yang multikultur terwujudlah cita-cita luhur bangsa: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, di era modern dengan globalisasi segala bidang ini, sejarah asal usul dan perjuangan bangsa seolah tersisihkan. Tanpa sadar, kita cenderung lebih mengetahui akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi daripada sejarah asal usul dan perjuangan bangsanya. Masyarakat lebih mudah mengakses internet, menggunakan fasilitas i-phone, e-banking, berinteraksi di jejaring sosial daripada berinteraksi langsung, bergaul yang baik dan menghargai perbedaan di lingkungan sosialnya. Institusi dan institut pendidikan pun yang berperan sebagai media dan agen sosialisasi serta pembentukan karakter, kini lebih menitikberatkan pada penguasaan ilmu pasti (eksakta) dan teknologi. Sementara pendidikan sosial dan soft skill kurang diperhatikan. Sebagai dampak kurangnya pendidikan sosial dan kemasyarakatan, secara tidak langsung terbentuk pola pikir masyarakat akan konsep yang salah tentang multikultural. Kita hanya mengetahui multikultural sebagai suatu kemajemukan dan perbedaan, sehingga hal ini justru memicu timbulnya konflik di masyarakat. Ditambah pula dengan kondisi pendidikan di Indonesia sekarang yang mengutamakan hasil seperti sudah membudaya, bahkan terinternalisasi dan mendarah daging pada diri masyarakat Indonesia. Maka tidak heran apabila kemudian terdapat konflik antaretnis atau masyarakat adat oleh suatu perbedaan paham, karena sebagian besar masyarakat melihat peristiwa tersebut sebagai perselisihan tanpa melihat proses atau penyebab perbedaan paham tersebut. Maka dari itu, persoalan multikulturalisme sangat erat kaitannya dengan pola pendidikan yang berkembang dan berlaku di masyarakat, dan idealnya dapat diatasi melalui jalur pendidikan yang tepat. 

 Multikultural, Konsep Kesederajatan yang Dilupakan

Istilah multikultural tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap kali terdengar berita tentang konflik SARA tentu pikiran kita merujuk satu konsep: Multikulturalisme. Memang nuansa keranekaragam senantiasa menaungi kehidupan bermasyarakat kita, dimana sebagai penduduk di negara kepulauan, kita memiliki masyarakat dengan berbagai suku, adat, ras, agama, dan budaya. Meski demikian, multikulturalisme ternyata bukan suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya terkandung dua pengertian yang kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, banyak, atau beragam, dan “kultural” yang berarti kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti berjenis-jenis yang mana bukan sekadar pengakuan terhadap adanya hal yang berjenis-jenis, melainkan juga mempunyai dampak terhadap berbagai sektor kehidupan. (Maryati, 2006:160) Konsepsi dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat adalah bahwa multikulturalisme tidak hanya bermakna keanekaragaman (kemajemukan) tetapi juga bermakna kesederajatan antarperbedaan yang ada. Maksudnya dalam multikulturalisme terdapat pengertian bahwa tidak ada sistem norma dan budaya yang lebih daripada budaya lain, atau tidak ada sesuatu yang lebih luhur dan agung daripada yang lain. Sehingga konsep multikulturalisme yang berkembang di masyarakat yang menitikberatkan pada keragaman dan perbedaan budaya dan adat istiadat semata perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman serta perasaan paling unggul yang menyebabkan timbulnya konflik horizontal.

  Pendidikan sebagai Media Sosialisasi Multikultural

Konsep kesederajatan dalam multikulturalisme ini saya dapatkan di bangku sekolah. Di sekolah tempat saya belajar, konsep ini dikenalkan melalui pelajaran sosiologi di kelas XI. Itu pun karena saya memilih jurusan sosial. Saya yakin pelajaran tentang konsep multikulturalisme ini serempak hanya diajarkan di kelas XI jurusan sosial sekolah-sekolah formal, sehingga memang benar jika pendidikan dikatakan sebagai salah satu media sosialisasi multikulturalisme yang efektif. Dikatakan media sosialisasi yang efektif karena dalam sebuah lembaga pendidikan, selain memberikan ilmu juga memberikan pelajaran tentang sikap dan tingkah laku. Pendidikan ibarat kawah “Candradimuka” untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang terkandung dalam Pasal 31 (3) UUD 1945, dimana semua hasil pencapaian mestinya berguna bagi kehidupan di masyarakat. Disinilah pendidikan berperan sebagai pengembang kepribadian pemimpin bangsa, sehingga pendidikan merupakan jalur yang efektif untuk menyampaikan pesan moral sebagai bekal berinteraksi dalam masyarakat multikultural. 

 Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Konsep Pendidikan Ideal

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia memiliki sebuah filosofi yang luar biasa, dinamis, dan fleksibel sebagai pedoman pendidik maupun peserta didik dari masa ke masa. “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Di depan memberi teladan, ditengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan) (Suwanto, 1997:93). Filosofi sang pelopor pendidikan di Indonesia ini jika diterapkan dalam kehidupan makro tentu memiliki makna yang sangat mengena, yakni dimana seorang camat, bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota dewan, hingga pemimpin negara, merupakan teladan dalam menjalani kehidupan. Keteladanan adalah kunci sekaligus penggerak perubahan, maka apabila seluruh tokoh garis depan ini mampu memberikan teladan tentu akan dapat membawa perubahan di masyarakat. Ketika para pemimpin saling menghargai, saling mengerti dan memahami, serta memiliki toleransi akan keragaman dan perbedaan di masyarakat, tentu kita sebagai warga masyarakat tidak akan sungkan untuk meniru dan melakukan hal yang sama. Sama halnya dengan para pemimpin, tokoh masyarakat juga memiliki peranan untuk dapat membangun keharmonisan dalam perbedaan. Tokoh masyarakat yang notabene lebih dekat dan mengenal masyarakat secara langsung dapat memberikan motivasi, semangat, dan arahan untuk saling menghormati dan tolong menolong dalam kehidupan. Apapun suku, agama, ras, dan adatnya. Tentu dengan keteladanan yang baik pula. Adapun kita sebagai masyarakat biasa, kita juga mesti andil dalam pelaksanaan filosofi ini. Yakni dengan menjaga keharmonisan dan hubungan baik dengan seluruh warga masyarakat dimana pun kita berada. Hal ini dapat kita lakukan dari diri sendiri, dengan menerapkan peribahasa “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dan apabila kita merasa belum mampu untuk memberikan keteladanan di lingkungan sekitar kita, maka setidaknya kita dapat meneladani perilaku baik para pemimpin kita. 

 Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal

Selain menerapkan kembali filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada suatu konsep pendidikan yang dapat kita kembangkan sebagai solusi persoalan multikulturalisme di nusantara ini. Konsep tersebut adalah: “Pendidikan Berwawasan Global dalam Kearifan Lokal”. Berwawasan global yang dimaksud adalah dapat memiliki wawasan yang luas dan mendunia serta mengikuti perkembangan globalisasi, sedangkan kearifan lokal merujuk pada aturan, norma, tata perilaku dalam adat istiadat dan budaya setempat (budaya masing-masing). Melalui pendidikan ini kita diharapkan mampu mengerti dan memahami berbagai adat, norma dan budaya lain yang berbeda dengan budaya yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri dengan tetap menjunjung tinggi norma perilaku dalam adat dan budaya kita. Dalam mengembangkan pendidikan berwawasan global kita perlu mengendalikan diri dengan berprinsip pada kearifan lokal. Dimana kearifan lokal tersebut merupakan pokok kehidupan kita, karena kearifan lokal yang kita miliki mengakar pada budaya dan adat istiadat kita masing-masing. Pendidikan ini dapat menunjang dan memelihara negeri berjuta kultur, Indonesia. Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk menyesuaikan diri, hidup penuh toleransi, dan saling pengertian antarbudaya antarmasyarakat dalam membina kerukunan berbangsa bernegara. Melalui pendidikan berwawasan global dalam kearifan lokal ini, kita mampu menjadi masyarakat dan bangsa yang berwawasan mendunia dan tetap membudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar