ASA

just scribble, words, and myself. never mind, it's safe :)

Kata saya

~disinilah kata, rasa, dan saya berada. bersama, menjadi sebuah.. karya ~

Sabtu, 27 Juli 2013

Sebingkis Pengertian

Aku menatap mata Sonia yang basah. Sesekali ia menahan napas, mencoba berhenti dari sesenggukannya. Aku masih membisu. Mencoba memberinya kesempatan untuk berdamai dengan hatinya yang sedang rusuh. Hela napas panjangku terdengar berat, bukan apa-apa. Aku hanya berusaha memberinya waktu, setidaknya untuk diam dan mendengarkan kata-kataku. 
“Sonia sayang, maukah engkau kuceritakan suatu kisah?”
Ia mengangguk pelan. Mendekatkan dirinya di tempat tidurku, dan berbaring di pangkuanku. Aku membelai rambutnya yang hitam mengkilap.
“Berpuluh-puluh tahun lalu, ada seorang gadis yang mandiri dan ambisius sepertimu Sonia. Ia adalah pekerja keras yang cerdas, baik, dan mengagumkan. Begitu kata orang-orang di sekitarnya. Namun di balik tanggapan orang tentang dirinya, sejujurnya dia adalah gadis yang pemalu, dan terlalu perasa. Lebih tepatnya, dia selalu berusaha menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Kadang dia minder dan menjadi seorang peragu. Tapi satu hal yang selalu dia perjuangkan; kebahagiaan orang-orang yang dicintainya.”
Sonia berbaring sambil mempermainkan ujung rambutnya, takzim mendengarkan.
“Saat menginjak masa perkuliahan, sifatnya yang pemalu dan minder itu membuatnya selalu jauh dari dunia merah jambu, kisah-kisah percintaan, Sonia. Namun ia tak terlalu ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah kuliahnya yang mesti segera tuntas dan cita-citanya segera terwujud, karena dengan itulah ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya.”
“Hidup berjalan biasa saja, sampai akhirnya sesuatu terjadi dan mengubah hidupnya..”
Sonia hanya diam, tapi ia mulai mendongakkan wajahnya dan memandangku.
“Saat itu, ia tengah keluar dari ruangan penguji seusai ujian skripsi dan kegirangan karena ia berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Bahkan, ia mendapat tawaran untuk melanjutkan studi S2-nya dengan biaya pemerintah melalui seleksi nasional. Ia segera menuju ruang rektorat untuk mengklarifikasi tawaran tersebut. Tanpa dinyana, ia bertemu dengan seorang staf kementrian yang saat itu sedang berkunjung ke kampusnya. Seorang pria muda yang wajahnya familiar. Spontan, gadis itu menyapa. Dan ternyata benar! Pria itu mengenalnya. Ternyata mereka berasal dari SMA yang sama. Dan pertemuan itu pun berlanjut..”
Sonia menatapku penuh tanya. Aku melanjutkan ceritaku.
“komunikasi mereka berlanjut, Sonia. Meski gadis itu pemalu, ia tergolong ramah. Maka dari itu ia berani menyapa si pria staf menteri. Apalagi ternyata, pria itu satu almamater dengannya. Maka dimulailah kisah cinta mereka.”
“Akhirnya mereka sepakat menjalin hubungan. Hubungan jarak jauh memang. Namun itulah tantangannya Sonia. Kesetiaan, kepercayaan, dan komitmen mereka diuji. Sebulan sekali memang pria itu mengunjunginya. Namun tak pernah lebih dari satu hari. Ia hanya menjenguk kedua orang tuanya, dan menyambangi gadisnya. Si pria dan gadis itu lebih banyak menghabiskan waktu mereka melalui skype. Itupun dengan saling berbagi nasihat, saran, dan ilmu-ilmu tentang kehidupan. Tak sekadar pacaran ala anak muda sekarang, mereka menjalin hubungan secara terhormat. Ya, tentunya kau pun tahu Sonia, ada wibawa dan jabatan yang harus mereka jaga. Selain itu, si gadis memang tipikal perempuan serius, sama sepertimu. Ia tak mudah menjalin hubungan yang tak diketahui arah tujuannya.”
Sonia semakin penasaran.
“Setelah berhasil lulus dengan memuaskan, tibalah giliran gadis itu diwisuda. Tak sekedar wisuda, ia meraih gelar cumlaude dari kampus tempatnya menimba ilmu. Dan serta merta ia diangkat menjadi asisten dosen di kampusnya. Lengkap sudah kebahagiaannya. Kedua orang tua dan adiknya bangga sekaligus terharu mengingat semua usaha dan perjuangannya.”
Sonia mulai bosan.
“Kau mulai bosan, Sonia? Padahal kisah istimewanya baru akan dimulai..”
“Satu minggu setelah gadis itu wisuda, si pria menelpon bahwa ia akan melamar gadis itu. Secepatnya. Laki-laki itu memastikan ia akan datang awal bulan depan, Sonia.”
Sonia kembali tertarik. Sejenak ia ragu. Namun akhirnya ia berkata padaku,
“aku lelah Uma, bingung. Bagaimana kalau kita namai saja gadis itu dan prianya?” ini kali pertama Sonia berbicara setelah tangisnya.
“Baik sayangku. Siapa namanya?” tanyaku
“terserah Uma saja..”
“Oke. Aku namai gadis itu Ratna dan lelakinya Galih.” Kataku kemudian.
“Ah, Uma.. Seperti nama tokoh dalam film jaman baheula saja..” kata Sonia sambil tersenyum. Sonia tersenyum! Ini membuatku sedikit lega. Semoga ia segera lupa dengan rusuh hatinya.
***
Sore itu, rintik gerimis membasahi jalanan di bawah sinaran matahari. Ya, senja tengah menjadi-jadi menyiratkan kemilau kuning dan semburat jingga di awan. Jarang sekali peristiwa seperti ini terjadi. Ratna baru saja menutup telepon genggamnya dengan gemetar. Benarkah yang ia dengar barusan? Mas Galih menelponku dan mengatakan bahwa ia akan segera melamarku?

Ratna masih tidak percaya. Ada keraguan di sorot matanya. Namun demi melihat ayahnya menghampirinya dan menuntunnya ke saung keluarga, ia segera menghapus jejak kegamangan hatinya. Apalagi ibunya segera menyusul kedua bapak anak itu.

(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar